R.L. Stine INVASI MAKHLUK PEMELUK MANUSIA BAGIAN II (Goosebumps # 5) Alih Bahasa: Sutanty Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jl. Palmerah Selatan 24-26 Lt. 6 Jakarta 10270 ============================== Ebook Cersil (WWW.ebookHP.COM) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ============================== Ebook by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu CERITA SEBELUMNYA NAMAKU Jack Archer. Aku tinggal di Los Angeles. Ada makhluk angkasa luar menyerbu bumi. Sekarang ia ada di kamarku dan menurutku ia sama sekali tidak ramah. Kaupikir ada yang percaya pada ucapanku? Tidak. Teman-temanku mengejekku dan menyebutku Manusia Piring Terbang, sebab aku pernah melihat UFO dan berbagai makhluk aneh lainnya yang ternyata sama sekali bukan UFO atau makhluk aneh. Oke, oke, aku memang membuat beberapa kesalahan, tapi kenapa tidak ada yang mau percaya padaku sekarang? Sebagian penyebabnya adalah adik perempuanku, Billie. Ia tidak pernah mau kalah dan selalu ingin bersaing denganku. Kalau aku bilang melihat satu piring terbang, Billie langsung mengaku melihat dua piring terbang, dan dua-duanya lebih besar daripada piring terbang yang kulihat. Pada musim panas yang lalu aku sering mengamati tetanggaku, Mr. Fleshman. Aku yakin ia menyembunyikan makhluk asing dirumahnya. Suatu malam Mr. Fleshman datang ke rumahku. Sikapnya sangat menakutkan. Ia memperingatkan agar aku tidak lagi mengintainya. Katanya ia punya pekerjaan yang sangat rahasia. Aku justru jadi lebih penasaran tentang Mr. Fleshman. Pada akhir musim panas, sebuah meteor aneh muncul di langit. Para ilmuwan bingung karenanya. Berjam-jam aku berkeliaran di halaman belakangku, mencoba melihat meteor itu. Suatu sore, ketika sedang mencari-cari meteor itu, kulihat suatu makhluk di balik jendela Mr. Fleshman. Mr. Fleshman tampaknya tidak di rumah, jadi aku menyelinap masuk ke rumahnya. Aku menemukan album foto berisi foto-foto makhluk hijau aneh. Dan ada peti mati di sebuah ruangan kosong yang tiba-tiba mulai membuka. Kuakui aku sangat ketakutan. Aku lari ke lorong, tapi mendadak muncul kabut dan sesosok hantu keluar dari dalamnya, menyelubungiku. Lalu Mr. Fleshman muncul. Ia tertawa melihat aku ketakutan. Ia menjelaskan bahwa ia bekerja sebagai pencipta monster dan efek khusus untuk film. Itu sebabnya pekerjaannya rahasia sekali. Aku sangat lega mendengarnya. Tapi lalu segalanya berubah menakutkan. Tanpa sengaja aku mengambil sebuah kotak elektronik kecil dari rumah Mr. Fleshman. Di kamarku aku mulai mendengar suara-suara dari dalam kotak itu. Suara-suara itu menguasaiku dan membuatku bertingkah aneh. Orangtuaku dan para guru khawatir melihat keadaanku. Mereka mengira aku takut mendengar berita-berita tentang meteor itu. Tapi aku masih terus mendengarkan suara-suara dari dalam kotak kecil itu. Kusadari bahwa suara-suara itu berasal dari makhluk angkasa luar, dan mereka sedang siap-siap mendarat di bumi. Kenapa Mr. Fleshman memiliki kotak ini? Ketika kucoba mengembalikan kotak itu padanya, kudengar Mr. Fleshman sedang bicara di telepon. “Kami sudah siap menghadapi mereka,” katanya. “Akan kami kalahkan mereka. Mereka tidak mungkin menang.” Wow! Mr. Fleshman berbohong padaku. Ternyata ia bukan pencipta efek khusus, melainkan agen pemerintah yang berniat mengusir makhluk angkasa luar. Tak lama kemudian. aku mendapat pengalaman lain. Kulihat kilatan cahaya di langit. Sebuah meteorit jatuh ke bumi dan mendarat di kakiku. Aku senang sekali, sampai hampir tak bisa bicara. Kuambil meteorit itu dan kubawa ke dalam rumah. Orangtuaku tidak percaya aku menemukan meteorit, apalagi Billie kemudian membual bahwa ia juga menemukan satu. Aku harus mencari orang yang mau percaya. Maka kubawa benda itu ke sekolah, untuk ditunjukkan pada Mr. Liss, guru ilmu alamku. Tapi dua temanku, Henry Glover dan Derek Lee, mengira si Manusia Piring Terbang mengada-ada lagi. Mereka mengambil meteorit itu dan melempar-lemparkannya seperti bola. Aku marah sekali. Kenapa sih tidak ada yang percaya padaku? Kuambil benda angkasa luar itu dan aku lari pulang, lalu menyimpannya di lemari. Whoa. Ternyata lemarinya mulai berguncang, lalu membuka. Sesosok makhluk kecil, seperti serangga, merangkak keluar. Aku terpaku kaget. Makhluk itu semakin besar dan seakin besar. Lalu tumbuh menjadi monster jelek yang menakutkan. Ia turun ke lantai, lalu terhuyung-huyung melintasi ruangan dengan lengan terentang, siap menyerang. 1 AKU terpaku ketakutan. Aku tak bisa bernapas. Aku membuka mulut, tapi tidak ada suara yang keluar. Makhluk angkasa luar itu memelototiku dari seberang ruangan. Kulihat pantulan tubuhku pada sepasang matanya yang hitam dan oval. Di belakangnya, di atas lemari, meteorit bundar kecil itu bersinar kehijauan, menerangi ruangan. Aku tercekat, mulutku kering kerontang dan jantungku berdebar-debar keras. Tadi, ketika keluar dari meteorit, makhluk itu kecil sekali, tapi ia mulai tumbuh begitu ia melangkah turun. Ia semakin besar dan semakin besar. Tubuhnya yang ramping semakin gemuk dan menggembung hijau. Sekarang ia sebesar kadal. Ia merayap turun di bagian depan lemari, lalu berjalan dengan keempat kakinya, meninggalkan jejak lendir putih tebal di belakangnya. Makhluk itu turun ke lantai dan berdiri pada kaki belakangnya. Lengan-lengannya yang hijau langsing menjulur dari tubuhnya. Ia meregang dan tumbuh lebih tinggi daripada lemari. Bahkan daripada aku sendiri. Sepasang matanya yang hitam dan oval membesar, kepalanya yang hijau mengilap melembung seperti balon. Kulihat dua lubang hidung yang dalam dari sebuah mulut kecil tanpa bibir. Dua tangan terbentuk di lengan-lengan rampingnya, melengkung membentuk kepalan, lalu membuka, menampakkan empat jemari panjang di setiap tangan. Makhluk itu memandangiku tanpa berkedip, tanpa ekspresi apa pun di wajahnya. Sementara ia bertambah besar, tubuhnya berkilau basah. Ia membuka mulutnya, memperlihatkan dua taring melengkung dan barisan gigi runcing. Sebuah cangkang hijau tumbuh di dahinya, keras seperti rumah kura-kura. Ia maju dengan goyah. Kulihat genangan-genangan lendir putih di lantai di belakangnya. PLOK! Kaki makhluk itu menimbulkan bunyi basah yang tajam setiap ia melangkah. Ia merentangkan kedua lengannya, lalu maju lagi selangkah ke arahku dengan berat. Akhirnya aku bisa memaksa kakiku yang gemetar untuk bergerak. Aku mundur terhuyung-huyung. Kakiku menabrak tempat tidur. Aku terjungkal dan mendarat dalam posisi duduk di penutup tempat tidur. “Kau... kau mau... berteman?” tanyaku takut-takut dengan suara pelan. Makhluk itu tidak menjawab. Ia merentangkan lengannya dan maju selangkah lagi ke arahku. “Namaku Jack!” seruku “Namamu siapa?” Aku memandangi makhluk yang berdenyut-denyut dan semakin membesar dalam cahaya kehijauan itu. Mudah-mudahan dia ramah! aku berdoa dalam hati. “Kau punya nama? Punya tidak?” Suaraku begitu nyaring melengking. Aku melompat berdiri dengan gemetar. “Jack,” ulangku sambil menepuk dadaku “Aku Jack” Tak ada jawaban. “Selamat datang di bumi,” kataku. “Apa kau tahu kau sudah mendarat di bumi?” Mata makhluk itu melebar, tidak lagi gelap dan oval, melainkan bundar dan merah bersinar. Ia melotot padaku sambil merundukkan kepala dan bahunya. Apa ia akan menyerang? Aku melirik pintu kamarku sekilas. Rasanya jauh sekali. Bisakah aku ke sana? Bisakah aku kabur sebelum makhluk mi menyambarku? “Kau bisa bicara?” seruku. “Kau punya nama? Apa kau bersahabat?” Makhluk itu membuka mulutnya lebar-lebar dan mendesis. keras. Kedengarannya seperti udara yang mengembus dari balon. Dua baris taring melengkung keluar dari mulut yang terbuka itu. Makhluk itu mengertakkan giginya satu kali. Dan sekali lagi. Dia. mau memakanku, pikirku. Makhluk itu memandangiku dengan lapar sambil mengertakkan giginya. Aku mesti bergerak. Kalau aku masih terpaku di sini, aku bakal jadi makan siangnya. Aku menarik napas dalam-dalam dan.menegangkan otot-otot kakiku. Makhluk itu mengulurkan lengannya padaku Lari! perintahku pada diri sendiri. Sebuah teriakan nyanng meluncur dari mulutku. Aku merunduk dan meluncur ke arah pintu. Sebuah desisan panjang keluar dari mulut makhluk itu. Ia berputar, matanya melotot dan membesar. Ia merunduk dan bersiap menyerangku. “Tidak! Jangan!” Sebuah desisan panjang keluar dari mulut makhluk itu. Ia berputar, matanya melotot dan bergerak di rongganya, lalu ia maju ke arahku dengan langkah berat. “Tidak! Tolong!” Tanpa kusadari aku berteriak, memohon-mohon. “Jangan!” Aku mencapal pintu, berdebar-debar. PLOK. Makhluk itu maju selangkah lagi. Kupaksakan diri keluar dari pintu, ke lorong. “Tolong” teriakku “Tolong!” Tapi tidak ada orang di rumah. Saat itu tengah hari. Adikku, Billie, masih di sekolah. Mom dan Dad di kantor. Tak ada siapa-siapa. Tak ada yang bisa menolongku. Tak ada yang melihat makhluk ini. Makhluk lapar dari angkasa luar ini. Sambil terus mendesis makhluk itu keluar ke lorong, kepalanya merunduk sementara ia maju dengan mantap ke arahku. “Oh, tolong! Tolong!” Aku terlalu ketakutan untuk tidak berteriak. Aku melesat ke tangga, hampir terjatuh. Kusambar birai tangga untuk berpegangan. Lalu aku melesat menuruni dua anak tangga sekali langkah, suara debak-debuk sepatu ketsku bergema di rumah yang kosong ini. Aku sampai di bawah dengan terengah-engah. Ketika aku membalikkan tubuh, kulihat makhluk itu ada di puncak tangga. “Tidak! Tolong!” Makhluk itu merentangkan lengannya yang sekarang tebal dan berotot, seolah hendak meraihku, lalu ikut turun tangga. Aku mundur, terus sarnpai ke pintu, dan kubuka pintu itu tanpa menoleh. “Tidak! jangan!” Aku memandangi makhluk yang sudah sampai di tengah tangga itu. Matanya melotot, mulutnya terbuka dan mendesis, taring-taring dan barisan giginya yang tajam tampak melengkung. Tangannya yang berjari empat terulur meraihku. “Tidak!” Sekali lagi aku menjerit ketakutan. Aku membentur pintu kasa. Aku mundur. Terus mundur. Mataku masih tetap terarah pada makhluk yang masih terus turun tangga itu. Aku mundur sampai ke pekarangan depan. Dan menabrak satu makhluk lainnya “Tidaaaak!” Aku menjerit panjang saat makhluk itu melilitkan sepasang lengannya ke tubuhku dari belakang. 2 SAMBIL menjerit nyaring kudorong lengan mathluk itu sampai aku berhasil melepaskan diri. Aku membalikkan tubuh. dan berseru kaget, “Mr Liss!” Dengan terengah-engah guru sainsku itu menatapku lekat-lekat dari balik kacamatanya. Dahinya berkeringat. Rambutnya yang biasanya licin rapi sekarang berantakan, seolah-olah ia baru berlari dari sekolah. “Jack, kau tidak apa-apa?” tanyanya terengah. “Tidak...,” kataku. “Tidak. Aku...” “Aku tidak bermaksud menakut-nakutimu,” katanya sambil merapikan kemeja birunya. Ia kurus tinggi dan selalu repot dengan pakaiannya. “Kau lari dari kelas, dan aku jadi cemas.” “Dia.. dia ada di dalam sana,” kataku gugup. Dengan panik aku menunjuk pintu depan yang terbuka. “Apa?” Mr. Liss menghapus keringat di dahinya dengan punggung tangan. “Aku tidak mengerti, Jack. Kulihat kau ketakutan, jadi aku cepat-cepat kemari, tapi...” “Dia di dalam sana!” teriakku. “Makhluk angkasa luar. Ada di rumahku.” Memang kedengarannya konyol, tapi mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa berpikir jernih. Otakku beku oleh rasa panik. Aku hampir-hampir tidak bisa bicara dengan jelas. Kusambar tangan guruku. Rasanya panas dan basah. Lalu aku menunjuk ke pintu. “Lihat? Anda lihat tidak?” Kami sama-sama memandangi pintu yang terbuka. Tidak ada apa-apa. Di tengah napasku yang kacau kucoba mendengarkan desisan makhluk itu. Tidak ada suara Sebuah pesawat terbang tampak tinggi di atas, mesinnya terdengar menderum sayup. Di ujung jalan terdengar suara tangisan bayi. “Aku tidak melihat apa-apa, Jack,” kata Mr. Liss. pelan, masih sambil merapikan bagian depan kemejanya. “Dia ada di sana!” teriakku. “Di dalam rumahku Anda mesti percaya!” “Oke, oke,” katanya, hampir berbisik. Ia menyuruhku tenang. “Tarik napas panjang, Jack, dan hitung sampai dua puluh.” “Tidak!” erangku. “Anda tidak mengerti!” Aku tetap menatap ke pintu, membayangkan makhluk jelek itu akan menyerbu keluar sambil mengertakkan gigi dan mengulurkan lengan-lengannya yang kuat untuk menangkapku. “Dia ada di sana, Mr. Liss,” aku bersikeras, suaraku gemetar. “Aku tidak bohong. Yang jatuh itu bukan meteorit, tapi semacam pesawat angkasa luar. Orang-orang menertawakanku, tapi makhluk itu memang ada di dalamnya, dan sekarang...” “Mari kira lihat,” sahut Mr. Liss pelan Ia beranjak ke arah rumah. “Hah?” Aku tercekat. Ia menyipitkan mata kepadaku. “Ayo kita periksa.” “Tidak... tunggu!” teriakku. Tapi Mr. Liss sudah melangkah ke undak-undak depan. Aku tetap di tempat, menutupi wajah sementara Mr. Liss membuka pintu kasa. Aku menahan napas, menunggu teriakan kagetnya. Tapi ia menoleh padaku, kacamatanya memantulkan cahaya matahari. “Aku tidak melihat apa-apa, Jack.” Ia merapikan rambutnya, yang kusut oleh angin. “Tidak terdengar apa-apa di dalam.” Ia melangkah masuk ke dalam rumah, dan memberi isyarat agar aku mengikutinya. Aku ragu. “Hati-hati,” kataku. “Dia ada di sana. Dia benar-benar besar, Mr. Liss. Lebih besar daripada manusia, dan.. Pintu kasa menutup dan Mr. Liss tidak tampak lagi di dalam sana. Aku mulai berdebar-debar lagi saat melangkah ke undak-undak depan. Melalui pintu kasa, aku mengintip ke dalarn rumah. “Mr. Liss?” panggiiku. Tidak ada jawaban. Aku menudungi mata dengan tangan. Di mana dia? Kenapa dia menghilang begitu cepat? Apa makhluk itu menyerangnya begitu ia masuk ke dalam? Menyerannya dengan diam-diam? Kubuka pintu kasa itu. Sambil menarik napas, aku menjulurkan kepala ke dalam. “Mr. Liss? Mr. Liss?” 3 DENGAN gemetar aku melangkah ke lorong depan. Pintu kasa itu menyentuh punggungku saat menutup. Aku terlompat. Dan mendengarkan. Hening. Lalu ada suara langkah kaki mendekat dari bagian belakang rumah. Makhluk itu! Aku terkesiap, dan siap-siap lari ke luar. Tidak! Tunggu! Langkah kaki itu terlalu ringan. Dan terlalu cepat. Mr. Liss muncul, berjalan cepat dengan tangan di saku. “Tidak ada siapa-siapa di dapur,” katanya. Ia memandangiku lama. “Apa kita perlu memeriksa kamar-kamar di ruang bawah?” Aku tercekat. “Tidak,” kataku “Kita keluar saja dari sini. Kita mesti cari bantuan.” Ia memandangiku lagi “Mungkin kau mimpi buruk semalam, Jack. Kalau sedang cemas, orang suka membayangkan yang tidak-tidak.” "Tidak!" protesku “Ini sungguhan. Anda mesti percaya padaku.” “Kalau begitu, kita mesti mencarinya,” kata Mr Liss. Ia membalikkan badan dan melangkah ke lorong lagi. Aku mengejarnya. Aku tidak ingin sendirian di sini. Aku tidak mau menghadapi makhluk itu seorang diri. Kuikuti Mr. Liss ke kamar orangtuaku. Tirai-tirai yang putih berkibar-kibar di depan jendela yang terbuka. Sejalur panjang cahaya matahari jatuh di tempat tidur. Tidak ada tanda-tanda kehadiran makhluk itu. “Makhluk itu besar dan berbahaya,” bisikku. “Kita mesti keluar dari sini, Mr. Liss Kita harus..." Sambil mengernyit Mr. Liss melangkah ke kamar tamu. Ia melongok ke dalam, lalu menoleh lagi padaku dengan cepat. “Aku tidak melihat apa-apa, Jack, dan tidak mendengar suara-suara aneh” “Tapi... tapi..." Mr. Liss melepaskan kacamatanya dan membersihkan lensanya dengan lengan kemejanya sambil menatapku tajam. “Aku tahu kau sedang kesal di sekolah,” katanya. “Aku tahu kau tidak senang teman-temanmu melempar-lemparkan bolamu itu.” “Benda itu bukan bola!” teriakku. “Itu pesawat angkasa luar Mendarat di pekaranganku, Mr. Liss. Dan makhluk itu keluar dari dalamnya.” Mr. Liss kembali mengenakan kacamatanya, masih sambil memandangiku “Mestinya kau tidak kabur dari sekolah...,” ia memulai. Tapi aku menginterupsi kalimatnya dengan mengepalkan tinju ke udara dan berteriak, “Aku tidak bohong! Ada makhluk angkasa luar di rumah ini, dan dia akan memakan kita.” Mr. Liss ternganga kaget melihat kehisterisanku. "Jack..." Aku tidak mendengarkan. Aku lari ke depan, ke pintu. “Kita mesti lapor polisi,” seruku “Kita mesti cari bantuan. Makhluk itu terlalu besar dan berbahaya.” Tapi kemudian lariku terhenti dan aku terpekik kaget. Aku melongo memandangi makhluk itu, kepalanya merunduk di bahunya yang hijau mengilat, mulutnya terbuka, memperlihatkan barisan giginya yang melengkung, sepasang lengannya terentang. Makhluk itu berdiri di situ. Menghalangi jalan keluarku. 4 "ASTAGA” Kudengar Mr Liss bergumam “Astaga! Astaga!” “Lihat sendiri, kan?” bisikku. Mr. Liss mengangguk, mulutnya ternganga, matanya terbelalak. “Astaga!” Ia menyapukan kedua tangannya di rambutnya yang cokelat. Aku tercekat. “Dia menghalangi pintu." kataku akhirnya dengan sangat pelan. “Maaf,” bisik Mr. Liss “Maaf aku tadi tidak percaya padamu.” Makhluk itu mendesis dan mengertakkan gigi. Sepasang matanya yang besar berputar-putar di kepalanya. Seluruh tubuhnya berdenyut-denyut dengan suara basah ketika ia melangkah dari pintu. “Kita mesti lari,” kataku sambil menank-narik lengan kemeja Mr. Liss. “Kita mesti cari bantuan.” Mr. Liss tidak melepaskan pandang dari makhluk itu. “Kita mesti mengambil kamera,” katanya. Makhluk itu maju selangkah lagi ke arah kami, merentangkan sepasang lengannya lebar-lebar dan memutar-mutar jemarinya yang panjang. Ia membuka dan menutup rahangnya, taring-taringnya yang panjang menimbulkan bunyi berisik. "Mr. Liss, ayolah," desakku. Kutarik lengannya, mencoba menyeretnya ke bagian belakang rumah. Tapi ia melepaskan diri dariku. “Kita akan terkenal, Jack." katanya penuh semangat. “Kita akan menjadi orang pertama di dunia yang pernah melihat makhluk planet lain.” "Tapi kalau dia memakan kita...” Makhluk itu melompat ke depan, seluruh tubuhnva bergetar dan bergoyang-goyang. "Mr. Liss, ayolah,” aku memohon. Tapi ia tidak mengacuhkanku. Ia malah maju mendekati makhluk itu. “Kami orang bumi,” teriaknya. "Kau bisa bicara? Dari mana asalmu?” Makhluk itu merentangkan lengannya dan mengeluarkan desisan basah. “Aku sudah coba bicara dengannya,” kataku. “Dia tidak menjawab.” Aku mundur selangkah ketika makhluk itu maju lebih dekat. “Ayolah, kita mesti pergi” teriakku. Akhirnya Mr. Liss menoleh padaku. “Menurutku dia ramah,” katanya, suaranya terdengar gembira. “Hah?” Aku terheran-heran. “Ya” Mr. Liss mengangguk “Menurutku dia ramah. Lihat, Jack, dia merentangkan lengannya. Kurasa dia ingin dipeluk.” Aku mundur selangkah lagi Jantungku berdebar kencang. Aku hampir-hampir tak bisa bernapas . “Tidak,” sanggahku. “Itu tipuan, Mr. Liss.” “Aku yakin dia cuma ingin dipeluk,” sahut Mr. Liss. “Tidak! Jangan dekat-dekat!” teriakku. “Dia jelek sekali. Dia jahat!” Mr. Liss menggeleng. “Dia memang berbeda dari kita. Dia kan makhluk dari planet lain, tapi belum tentu dia jahat.” Ia maju selangkah lagi ke arah makhluk itu. “Menurutku dia berusaha menyapa kita, Jack. Kurasa dia ingin memeluk kita.” “Mr. Liss jangan.” pintaku “Kita pergi saja. Ayolah!” Tapi Mr. Liss tidak memedulikan peringatanku. Ia maju untuk menyapa makhluk itu. Makhluk itu merentangkan kedua lengannya. Mr. Liss juga. Dan mereka berpelukan. “Oh, astaga!” gumam Mr. Liss. Lengan makhluk itu memeluk bahu Mr. Liss dengan lembut. “Oh, oh,” kata Mr. Liss lagi. “Kaulihat, Jack? Aku benar,kan?” Mr Liss tidak membalikkan tubuh. Makhluk itu memeluknya lebih erat, lalu merundukkan kepalanya yang besar dan hijau dan menekankannya ke pipi Mr. Liss. “Dia makhluk berdarah panas, seperti kita,” kata Mr. Liss. “Kaulihat, Jack? Dia ramah. Aku yakin. Aku...” Mr. Liss berhenti bicara dan terkesiap. Kulihat makhluk itu semakin mempererat pelukannya. "Hei!” erang Mr Liss “Tunggu. Hentikan..." Kepala makhluk itu menekan wajah Mr Liss. Lengan-lengannya yang berotot merangkul sosok ramping guruku. Semakin erat. Mr. Liss mengerang lagi. Lalu, sementara aku memandangi tanpa daya, Mr. Liss mulai meronta-ronta. "Hei, lepaskan! Lepaskan!" 5 "MR. LISS” teriakku. Dengan ngeri kulihat lengan kuat makhluk itu mengetat di pinggang Mr.Liss. Mr Liss mengerang kesakitan. Ia terus meronta-ronta, berusaha membebaskan diri. Kacamatanya jatuh ke lantai, matanya terbelalak, dan wajahnya mengernyit ngeri. Makhluk itu menekankan kepalanya ke pipi Mr. Liss dan mendesis pendek-pendek.. HISS HISS HISS... “Ti... dak... bi... sa... na... pas,” kata Mr. Liss. Dengan panik aku mencari-cari apa saja yang bisa dijadikan senjata untuk memukul makhluk itu. Aku melihat sebuah vas kaca yang tinggi di meja di luar ruang duduk. Aku meraihnya. Kuangkat vas itu tinggi-tinggi, siap-siap menghantamkannya ke makhluk itu. “Tidaaak!" teriakku ketika makhluk itu mengangkat sepasang tangannya. Jemarinya mengembang dan kuku-kuku panjang keperakan keluar dari dalamnya. Kuku-kuku itu sekitar satu kaki panjangnya, dan makhluk itu menghunjamkannya ke punggung Mr. Liss. Mr. Liss menjerit, matanya melotot ketakutan. Vas itu jatuh dari tanganku dengan suara debuk berat. Aku tercekat. Ini tidak sungguhan, pikirku. Ini tidak benar-benar terjadi. Kuku-kuku panjang itu menembus kemeja Mr. Liss dan masuk ke dalam tubuhnya, seolah-olah ia terbuat dari udara. Kulihat sepasang tangan makhluk itu masuk semuanya ke punggung Mr. Liss, disusul oleh lengannya. Makhluk itu merundukkan bahu dan kepalanya, lalu bahunya masuk juga ke punggung guruku, kepalanya yang hijau menimbulkan suara basah ketika menyusul masuk. "Tidak! Tidak! Oh, tidak!” erang Mr. Liss dengan mulut ternganga ketakutan. Sepasang lengannya terangkat, matanya berputar-putar panik. “Tidak! Tidak! Tidak!” Makhluk itu menekuk lututnya, merunduk ke depan, lalu melompat dari lantai. Melompat ke dalam tubuh Mr. Liss. Dan menghilang. “Tidak! Tidak! Tidak!” Mr. Liss masih terus mengerang. Sepasang lengannya bergerak-gerak liar di atas kepalanya. Aku terhuyung-huyung ke tembok. Dadaku turun naik. Aku berjuang menarik napas. Kututupi telingaku untuk menghalau erangan-ngeri guruku. “Tidak! Tidak! Tidak!” Aku memandangi punggung Mr. Liss. Dan kemejanya yang sekarang licin kembali. Tidak ada kerutan. Tidak ada lubang atau sobekan. Juga tidak ada benjolan, luka, ataupun darah. Kemejanya berantakan ketika ia meronta-ronta dan bagian bawah lengannya basah oleh keringat, tapi tidak ada tanda-tanda makhluk itu. Makhluk itu sudah menghilang ke dalam tubuh Mr. Liss. Gerakan guru itu mendadak berhenti. Sambil terengah-engah ia menurunkan lengannya dan merapikan kemejanya “Mr Liss?” Akhirnya aku bisa mengeluarkan suara. Ia menyipitkan mata padaku, seolah tidak mengenalku. Lalu ia membungkuk dan mengambil kacamatanya. “Mr. Liss? Anda tidak apa-apa?” tanyaku, masih tetap bersandar ke tembok. Kakiku gemetar dan lemas. Mr. Liss memakai kembali kacamatanya, lalu merapikan rambutnya dengan satu tangan. Ia menggeleng-gelengkan kepala, seperti ingin menghilangkan. pening. Lalu ia mulai bersenandung pelan sambil memandangiku dengan tatapan kosong. “Mr. Liss?” bisikku. “Ini aku. Jack. Anda tidak apa-apa?” Ia masih terus bersenandung, lalu ia mengecapkan mulutnya beberapa kali. Ia menggaruk bahu kanannya, lalu tengkuknya. Keras sekali, sampai kulitnya memerah. Aku mesti keluar dari sini, aku memutuskan. Mr. Liss tidak beres. Makhluk itu masuk ke dalam dirinva dan sekarang ia tidak beres. Ia mulai bersenandung lagi. Senandung tidak jelas. Dan ia terus menggaruk-garuk. "Eh... aku... akan cari bantuan,” kataku sambil beranjak pelan-pelan ke pintu depan. Mr. Liss berhenti bersenandung. Ia menurunkan tangannya dan bergerak untuk merintangi jalanku. Ia mendecak-decakkan lidah. “T-t-t. Aku tidak apa-apa, Jack,” katanya. Bicaranya lambat sekali. "Tidak. Aku akan panggil seseorang,” aku bersikeras. ‘Anda tunggu di sini, Mr. Liss. Aku akan kembali secepat mungkin.” "Tidak. Tidak perlu,” sanggah Mr. Liss Seulas senyum kecil yang aneh merekah di bibirnya “Aku baik-baik saja.” Sementara ia tersenyum, sesuatu berwarna hijau menyembul dari kedua telinganya. Kelihatannya seperti permen karet yang berdenyut-denyut Mirip balon-balon hijau. "Aku... aku akan panggil dokter atau siapa saja,” kataku tergeragap, sambil beringsut ke pintu yang terbuka. “T-t-t, aku tidak perlu dokter,” sahut Mr. Liss, masih tersenyum. “Belum pernah aku merasa sesehat ini, Jack” Gelembung hjau itu menyembul dari kedua sisi wajahnya, lalu pelan-pelan mengempis dan masuk kembali ke dalam telinganya. “Dia ada di dalam Anda!” teriakku, tak bisa lagi menahan panik. “Dia menghilang, masuk ke dalam tubuh Anda, Mr. Liss. Aku melihatnya.” Mr. Liss menggeleng. “Tidak. Aku t-t-t baik-baik saja.” Ia maju selangkah ke arahku, dengan senyumannya yang aneh itu. Matanya melotot padaku, tidak bergerak, tidak berkedip. Kedua gelembung hijau itu kembali menyembul dari dalam telinganya, berdenyut-denyut selama beberapa saat, lalu kembali menghilang masuk. “Aku akan cari bantuan!” teriakku. Tapi ia menghalangi jalanku. “Jangan takut, Jack,”. katanya pelan. “Aku takut!” pekikku. “Dia ada di dalam tubuh Anda, Mr. Liss. Anda tidak mengerti? Aku mesti cari bantuan.” Ia menggeleng lagi, lalu merentangkan lengannya. Matanya menatapku tajam. “Peluk aku, Jack,” bisiknya. “Hah?’ Aku tercengang dan mundur. “Peluk t-t-t aku,” ulang Mr. Liss sambil merentangkan lengan “Dia ingin masuk ke dalam dirimu juga. Supaya dia sama-sama ada di dalam kita.” “Tidak!” Aku tercekat. “Dia ingin t-t-t menyebar ke semua orang,” Mr Liss melanjutkan. “Hebat, kan?” Ia maju ke arahku, sepatunya berkeresak ribut di lantai. Gelembung-gelembung hijau itu muncul dari lubang telinganya, lalu masuk kembali. Aku mundur selangkah lagi, dan selangkah lagi. "Peluk sebentar saja,” desak Mr Liss Ia berdecak beberapa kali. “Peluk sebentar, Jack. Kita mesti menyebar. Kita mesti memeluk semua orang. Tidak apa. Sungguh. T-t-t. Aku tidak apa-apa.” Aku membentur tembok.” Tidak... jangan!” teriakku. "Aku tidak mau. Anda tidak normal. Anda aneh. Anda kesurupan.” "Tidak,” kata Mr. Liss pelan sambil maju lebih dekat. Sepatunya terseret-seret di lantai, seolah kakinya tidak kuat mengangkatnya. "Peluk sebentar, Jack,” desaknya “Jadilah salah satu dari yang pertama. Kau sangat beruntung bisa menjadi salah satu dari yang pertama.” "Tidaaaak” teriakku. Aku melesat melewatinya, masuk ke ruang tamu, api aku menjerit ketika melihat Mom dan Billie naik dari belakang rumah. “Kau sudah di rumah?” Mom menaruh tas kerjanya di meja dan berpaling padaku “Jack, ada apa? Kenapa kau sudah di rumah ada jam begini?” Aku membalikkan badan dan menunjuk Mr. Liss dengan tangan gemetar. “Makhluk itu ada di dalam tubuhnya” teriakku. “Hentikan dia! Hentikan! Makhluk itu ada di dalam tubuhnya!” 6 MOM ternganga dan terbelalak menatap Mr. Liss. Guru itu belum bergerak dari lorong depan. Kedua lengannya masih terentang, siap memeluk. “Ada makhluk angkasa luar mendarat di bumi,” kataku pada Mom. “Makhluk itu... masuk ke dalam tubuhnya!” teriakku. Billie terpaku memandangi Mr. Liss. “Aku juga kemasukan makhluk .angkasa luar,” katanya. Ia merentangkan kedua lengannya dan mulai terhuyung-huyung di seputar ruangan “Aku makhluk asing! Aku makhluk asing!” “Billie, diam!” teriakku. Mr. Liss tertawa terbahak-bahak. “Kedua anak Anda sangat imajinatif, Mrs. Archer.” Ia masuk ke ruang tamu, merapikan kemejanya dan berjalan dengan langkah berat terseret-seret. “Ya, memang,” Mom langsung setuju. Ia memandangiku dengan bingung. Billie sekarang berjalan seperti robot “Aku makhluk angkasa luar,” katanya, dan ia mulai terbatuk-batuk. “Billie, naik ke kamarmu,” perintah Mom “Dia sedang sakit tenggorokan. Aku menjemputnya lebih awal dari sekolah. Kurasa amandelnya mulai berulah lagi." Ia menghampiri Mr. Liss. "Mom, jangan dekat-dekat dia!” teriakku ngeri. "Dia kemasukan makhluk asing! Percayalah padaku!” Mr. Liss berdecak. Ia mengulurkan tangan pada Mom. “Aku Ted Liss,” katanya. “Aku t-t-t guru sains Jack.” “Senang bertemu dengan Anda, Mr. Liss,” kata Mom. Ia mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Mr. Liss. “Jangan!” teriakku sambil menarik tangan ibuku. “Jack!” bentak Mom. “Kenapa sih kau ini?” “Jangan sentuh dia!” erangku. “Aku tidak bohong, Mom. Makhluk itu memeluknya, lalu...” “Hentikan sekarang juga!” perintah Mom sambil mengertakkan gigi. Ia membekap mulutku. “Aku serius, Jack. Diamlah.” Peian-pelan ia menurunkan tangannya dari mulutku dan menoleh pada Mr. Liss. “Maaf, Jack sedang terpengaruh oleh cerita tentang meteor yang jatuh itu.” Mr. Liss mengangguk serius. “Ya. Aku t-t-t mengerti. " “Tapi... tapi...” Mom mengangkat tangannya. “Jangan bicara lagi!” bentaknya. Aku menggigit bibir. Kenapa Mom tidak mau mendengarku? Kami semua dalam bahaya besar, dan Mom tidak peduli. Ia cuma peduli bersikap sopan pada guruku. Mom kembali menoleh pada Mr. Liss. “Aku minta maaf atas sikap Jack. Ayahnya dan aku sangat cemas tentang dia.” “Ehm... ada masalah di sekolah hari ini,” kata Mr. Liss sambil menggaruk bahunya. Mom terperangah. “Masalah?” Mr. Liss mengangguk dan mendecakkan lidah tiga kali. “Itu sebabnya aku ada di sini. Beberapa murid mengganggu Jack. Dia kabur dari sekolah. Aku mengikutinya ke sini untuk memastikan dia tidak apa-apa.” Mom mengerutkan kening padaku dan menumpangkan satu tangan dengan lembut ke bahuku. “Jack, kau gemetar,” katanya. “Apa kau sehat? Mungkin kau mestinya berbaring di kamarmu.” “Aku tidak sakit!” sanggahku. “Mom mesti mendengarkanku. Meteorit itu sebenarnya pesawat angkasa luar. Sesosok makhluk asing keluar dari dalamnya dan..” Mom meremas bahuku. “Ssst. Tenanglah. Tidak apa-apa.” “Sebaiknya aku pergi,” kata Mr. Liss. Ia mulai menyeret langkah ke luar ruangan. “Maaf kalau aku mengejutkan Anda. Aku ingin memastikan Jack tidak apa-apa.” “Anda baik sekali, Mr. Liss” Mom mengikutinya ke pintu. “Mom...,” panggilku. “Jangan biarkan dia menyentuh Mom.” “Jack!” seru Mom. “Kurasa kau benar-benár perlu isthahat. Aku akan memanggil Dr. Bendix dan...” “Sampai t-t-t besok, Jack,” kata Mr. Liss dan ambang pintu. Lalu ia mengedip padaku. Kedipan paling jahat yang pernah kulihat Sebab aku tahu apa yang dimaksudnya. Bukan Sampai besok, melainkan Kau tidak bakal bisa kabur dariku. Atau Akan kutemui kau di sekolah dan akan kupeluk kau, seperti yang dilakukan makhluk itu padaku. Lalu makhluk itu akan masuk ke tubuhmu juga, dan kau akan memeluk semua orang yang kaujumpai. Dan makhluk itu akan masuk ke tubuh semua orang di kota! Aku memeluk diriku sendiri di tengah ruang tamu, mencoba menghentikan gemetarku. Kulihat Mom berbicara pelan dengan Mr. Liss di pintu depan. Jangan biarkan dia menyentuhmu, Mom, kataku dalam hati. Jangan berjabat tangan dengannya. Jangan sentuh dia! Aku tahu mereka sedang membicarakanku. Mereka terus melirikku sambil berbicara. Mom angkat bahu. Mr. Liss tersenyum menenangkannya, lalu pergi. Aku mendengar suara. Ketika menoleh, kulihat Billie melambai-lambai dengan penuh semangat padaku dari puncak tangga. “Jack, cepat Di sini ada lebih banyak makhluk asing!” panggilnya. “Aku melihat sepuluh! Tidak deh. Seratus!” Aku merengut dan mengacungkan tinju padanya. "Diam! Diam! ini bukan lelucon, Billie!” Mom menoleh lagi padaku “Jangan bicara lagi,” katanya marah. “Aku akan memanggil Dr: Bendix. Mungkin dia mau memeriksamu dan adikmu.” Mom mendesah. “Kuharap Billie tidak perlu operasi amandel.” Ia melewatiku, menuju telepon di dapur. “Naiklah dan berbaring sebentar,” perintahnya. “Kita akan membicarakan urusan makhluk angkasa luar ini begitu ayahmu pulang.” “Lalu Mom baru mau mendengarku?" tanyaku. “Ya. Tapi jangan lagi menakut-nakuti adikmu dengan certa-cerita konyol seperti itu.” Lalu ia masuk ke dapur. Cerita konyol? Cerita konyol katanya? Memang sih konyol, tapi juga benar. Dan cerita itu belum selesai. Ada makhluk asing mendarat di bumi. Dia memeluk guruku, lalu masuk ke tubuhnya. Membuatnya kerasukan. Dan makhluk itu ingin merasukiku juga. Dan merasuki setiap orang. Kepalaku pening gara-gara berbagai pikiran menakutkan ini. Pelipisku berdenyut-denyut. Apa yang bisa kulakukan? Apa? Aku memandang ke luar jendela... dan menjerit kaget. Mr. Liss masih di luar sana, di trotoar depan rumahku. Dia sedang memeluk tukang pos. Setelah beberapa saat, ia melepaskan pelukannya. Kulihat gelembung-gelembung hijau muncul dari kedua telinga si tukang pos. Mr. Liss pergi dengan tersenyum. Tukang pos menggaruk satu bahunya, lalu satunya. Wajahnya tampak bingung. Gelembung-gelembung itu masuk kembali ke telinganya. Ia mengangkat kantong suratnya dan mulai melangkah ke rumah sebelah. Si tukang pos akan mulai memeluk orang-orang, pikirku dengan ngeri. Ia akan berkeliling dari rumah rumah, menyebarkan makhluk itu pada semua orang. Aku mesti bertindak pikirku. Cepat! Tapi apa yang mesti kulakukan? Mendadak aku mendapat gagasan. 7 MR. FLESHMAN! Tetanggaku yang aneh itu! Kenapa tadi tidak terpikir olehku? Aku terlalu panik, sehingga lupa pada satu-satunya orang yang bisa menolongku. Mr. Fleshman mengatakan ia seorang ahli efek khusus untuk film. Ia memiliki berbagai jenis monster dan hantu mekanik di rumahnya. Tapi itu cuma topeng! Suatu hari, ketika sedang berada di luar rumahnya, kudengar Mr. Fleshman bicara di telepon pada atasannya. Katanya ia sudah siap menghadapi invasi itu. Katanya ia bisa menanganinya. Baru saat itulah kusadari bahwa Mr. Fleshman adalah agen pemerintah. Ia telah mempersiapkan diri untuk menghadapi invasi makhluk angkasa luar itu. Ia berjanji pada atasannya akan menghancurkan makhluk-makhluk itu begitu mereka mendarat. Sekarang saatnya telah tiba. Makhluk itu telah mendarat. Tapi apakah Mr. Fleshman tahu? Aku mesti memberitahunya. Hanya dialah yang bisa membantu dan, mau percaya padaku. Satu-satunya yang bisa menghentikan makhluk itu sebelum makhluk merasuki semua orang di L.A.! Mom masih menelepon di dapur. Aku menyelinap keluar dari pintu depan, lalu lari secepat mungkin sepanjang pagar yang memisahkan pekarangan kami dengan pekarangan sebelah, terus ke beranda belakang Mr. Fleshman. “Mr. Fleshman! Anda ada di rumah?” Aku menggedor pintu dapurnya dengan kedua kepalanku. Pintu itu dibuka. “Mr. Fleshman? Ini aku... Jack. Mr. Fleshman?” Suaraku terdengar tinggi dan nyaring. Aku melongok ke dalam. “Ini penting sekali!” teriakku. “Mr. Fleshman, mereka sudah mendarat. Anda ada di rumah?” Tidak ada jawaban. Mungkin dia ada di bagian depan rumah, pikirku. Atau mungkin di salah satu bengkelnya dan tidak mendengarku. Kubuka pintu itu lebih lebar... lalu masuk ke dalam. Sinar matahari siang yang mulai memudar masuk dari jendela dapur. Aku menunggu sampai mataku, bisa menyesuaikan diri. Tidak ada tanda-tanda kehadiran siapa pun di dapur. Sekotak bubur jagung tergeletak, di samping sebuah mangkuk kosong di meja. Setumpuk surat yang belum dibuka tertumpuk di rak. Lantai di bawah kakiku berderit ketika aku melangkah ke lorong belakang yang panjang. “Mr. Fleshman?” panggilku. “Anda ada di rumah?” Tidak ada jawaban. Dari suatu tempat dibagian belakang rumah terdengar suara pelan musik. Musik organ yang kedengaran seram. “Mr. Fleshman, ini aku... Jack!” panggilku. Aku mengintip ke gudang. Di lantai ada tumpukan koran dan sebuah tengkorak yang sedang menyeringai bertengger di rak buku. Rumah ini penuh dengan tengkorak, hantu, dan monster. Semuanya tiruan yang digunakan Mr. Fleshman untuk membuat orang-orang mengira ia bekerja dalam industri perfilman. Tapi aku tak bisa dikelabui. Musik organ itu sekarang terdengar lebih keras. “Mr. Fleshman?” panggilku lagi sambil membuat corong dengan tanganku, berusaha mengatasi suara organ. Aku menabrak sebuah meja rendah di dinding. Aku menjerit dan terlompat kaget. Dan melihat album foto itu. Album yang kutemukan ketika waktu itu aku menyelidiki rumah besar yang menakutkan ini. Kuambil album itu dan kubuka. “Ya,” gumamku. “Ternyata benar.” Kupandangi berbagai foto makhluk angkasa luar berwarna hijau di album itu. Kata Mr. Fleshman, mereka adalah model yang dibuatnya untuk sebuah film. Tapi ia berbohong. Makhluk-makhluk di foto itu persis dengan makhluk yang masuk ke dalam tubuh Mr. Liss. Ini buktinya, pikirku. Bahwa Mr. Fleshman adalah agen pemerintah. Aku masih memegangi album itu ketika sebuah sosok muncul dari dalam bayang-bayang. “Mr. Fleshman!” panggilku. Ia mengenakan pakaian serba hitam, seperti biasa. Sepasang matanya yang dingin keperakan beralih dari diriku ke album foto itu. Lalu ia kembali menatapku dengan seksama. “Jack,” katanya akhirnya dengan suara serak berbisik. “Kau sedang apa di sini?” “Dia... mendarat!” seruku. Ekspresinya tidak berubah. “Makhluk asing itu!” kataku. “Dia mendarat. Aku melihatnya. Dia mencoba memelukku. Bentuknya persis seperti yang ada di album ini.” Ia mengerutkan kening. “Kurasa kau sudah tahu rahasiaku, ya?” “Y-ya,” sahutku tergagap. Kututup album itu dan kuletakkan kembali di meja. “Aku tahu Anda agen pemerintah,” kataku. “Aku tidak bermaksud menguping, Mr. Fleshman, tapi aku mendengar Anda bicara di telepon.” Ia menyipitkan mata, tapi tidak mengatakan apa-apa. Kelihatannya ia sedang berpikir keras. Kurasa ia sedang mempertimbangkan, berapa banyak yang bisa diberitahukannya padaku. “Anda agen FBI?” tanyaku. Ia menggeleng. “Ini antara kau dan aku saja, Jack,” katanya sambil mencondongkan tubuh. “Kau harus janji tidak akan memberitahu siapa pun. Aku ini agen khusus. Dari Biro Pemantau Makhluk Asing.” “Ternyata dugaanku benar!” seruku. Ia mengangkat satu jari ke bibirnya, isyarat agar aku diam. “Aku percaya padamu, Jack. Aku percaya kau tidak akan membuka rahasiaku pada siapa pun. Tidak juga pada orangtuamu.” “Aku tidak akan cerita pada siapa-siapa. Janji,” kataku sambil mengangkat tangan kananku. “Banyak yang akan menyusul datang, Jack,” kata Mr. Fleshman “Kami sudah mendapat informasi awal bahwa makhluk-makhluk itu akan mendarat di sini. Aku sudah membuat markas besar untuk menyambut mereka. Agen-agenku sudah melakukan Siaga Satu." “Dia... dia memeluk guru sainsku!” seruku. “Dan guruku memeluk tukang pos. Dan... dan...” Mr. Fleshman meletakkan satu tangan di bahuku. “Jangan khawatir, Jack Semuanya sudah diantisipasi. Kami bisa menangani mereka.” “Tapi apa yang akan Anda lakukan?” tanyaku. Ia mengangkat lagi jarinya ke depan bibir.“Pulanglah, Jack. Tenanglah. Kunci pintumu dan tetaplah tenang, oke?” “Oke,” sahutku. “Tapi.” Mr. Fleshman beranjak ke pintu dapur. “Jangan beritahu siapa pun. Jangan menyebarkan kepanikan. Jaga saja dirimu baik-baik” "Oke," kataku. Mr. Fleshman berhenti di pintu belakang dan menoleh padaku “Kau satu-satunya, selain para agenku, tahu tentang invasi ini,” katanya dengan berbisik, "Kau mau membantu kami?” "Tentu saja,” kataku. "Mulailah membuat daftar,” katanya “Isi dengan nama orang-orang yang sudah dirasuki oleh makhluk-makhluk itu” "Aku cuma menuliskan nama mereka?”tanyaku. Ia mengangguk. “Itu sangat penting. Sesudah kami mengalahkan mereka, aku pasti membutuhkan daftar itu." Aku tercekat “Oke, akan kumulai sekarang juga” "Jangan membahayakan dirimu,” Mr Fleshman mengingatkan. “Aku tahu betul bahwa kau senang mengintai orang-orang.” Ia tersenyum “Kau terus mengintai aku sejak aku pindah kemari.” "Sori,” gumamku. "Jangan mengambil risiko,” ia mengulangi “Kalau kau melihat seseorang dipeluk, tulis saja namanya. Itu saja. Jaga dirimu. Biar aku yang menangani selebihnya." "Aku akan hati-hati,” janjiku “Dan akan kulakukan tugasku.” "Tak usah cemas,” kata Mr. Fleshman dengan lembut. “Para agenku dan aku akan menangani makhluk-makhluk ini. Tidak masalah.” “Mudah-mudahan saja,” gumamku. Lalu aku lari pulang secepat mungkin. Tapi aku berhenti di tengah pekarangan depan. Empat teman sekelasku — Marsha Wiener, Maddy James, Henry, dan Derek — berdiri menungguku di pintu depan. “Hei, kami tadi bertemu Mr. Liss!” seru Derek. “Aduuuh!” erangku. Mereka melangkah cepat ke arahku. “Kau kenapa, Jack?” tanya Maddy. “Apa dia... memeluk kalian?” tanyaku ketakutan. Kedua cewek itu tertawa. Henry dan Derek menatapku tajam. “Apa?” tanya Marsha. “Apa dia memeluk kalian?” ulangku dengan suara gemetar. Marsha dan Maddy saling pandang. Mereka semua maju lebih dekat. “Ya, dia memeluk kami,” kata Derek pelan. Aku terkesiap. “Tolong... jangan dekat-dekat,” pintaku. Tapi sudah terlambat. Derek dan Henry mengapitku. Lalu keduanya memelukku. 8 "TIDAK!” Aku meronta-ronta, berusaha melepaskan diri, tapi Henry dan Derek bertubuh besar. Besar dan atletis. Aku tak bisa lepas dari mereka. "Jangan...,” pintaku. Mereka melepaskan pelukan dan mundur. Derek jatuh telentang di rumput dan tertawa terbahak-bahak. Henry jatuh berlutut di sampingnya dan ber—high bersama Derek. Aku ternganga, tak bisa bicara. "Kau ini aneh sekali,” kata Derek padaku. "Buat apa Mr. Liss memeluk kami?” tanya Henry. “Kau kenapa sih, Jack?” seru Marsha. “Kenapa tingkahmu begitu aneh?” Aku mundur dengan gemetar dan memandangi mereka berempat. Mereka tidak mendecak-decak dan tidak ada gelembung hijau keluar dari telinga mereka. "Dia... dia tidak memeluk kalian?” tanyaku. Marsha tertawa lagi. “Kami melihatnya di sudut. Kami melambai padanya. Hanya itu.” “Kami datang untuk meithat apa kau baik-baik saja,” tambah Maddy. “Kau lari cepat sekali dari sekolah.” “Aku tidak baik-baik saja!” teriakku. “Ada makhluk asing..” Kalimatku terhenti. Mereka tidak mendengarkan. Marsha sedang diteriaki ibunya dari rumah mereka di seberang jalan. “Aku harus pergi,” kata Marsha. “Ada yang mau ikut ke rumahku?” "Derek dan aku mesti bicara dengan Jack,” sahut Henry. Kedua cewek itu pun pergi menyeberang jalan. Kuajak Derek dan Henry masuk ke rumahku. Di ruang tamu, mereka menaruh ransel masing-masing di lantai. “Kau kubawakan PR dari Mrs. Hoff,” kata Derek., “Tadi kau lari cepat sekali...” “Masa bodoh dengan PR-nya,” selaku. “Kalian tidak akan percaya mendengar ini. Ingat benda angkasa luar yang kalian kira bola itu?” “Yeah. Sori kami melempar-lemparkannya,” kata Henry. “Kami cuma bercanda.” “Bukan itu soalnya!” teriakku. “Dengarkan dulu, dong! Benda itu bukan bola atau meteor, tapi pesawat angkasa luar.” Mereka memandangiku dengan tajam. Henry menjilat kawat giginya yang biru cerah. “Benda itu ada di meja kamarku dan sesosok makhluk angkasa luar keluar dari dalamnya,” kataku. Aku tak sabar ingin menceritakan semuanya, jadi kupaparkan seluruhnya dengan penuh semangat. Kuceritakan bagaimana makhluk itu bertambah besar dan jahat; bagaimana ia mengejarku, memeluk Mr. Liss, dan masuk ke dalam tubuh guru itu, dan bagaimana Mr. Liss mencoba memelukku untuk memasukkan makhluk itu ke dalam tubuhku juga; Bagaimana ibuku mendadak masuk, dan bagaimana kulihat Mr. Liss memeluk tukang pos. Kuceritakan semuanya pada mereka, kecuali tentang Mr. Fleshman dan tugasku untuk membuat daftar nama. Aku sudah janji pada Mr. Fleshman, tidak akan menceritakan hal itu pada siapa pun. Aku bicara selama sepuluh menit. Begitu selesai, aku terengah-engah. Henry dan Derek masih terus memandangiku. Mereka tidak bereaksi dan tidak bicara sepatah pun. Lalu Henry nyengir lebar. “Si Manusia Piring Terang beraksi lagi,” katanya. “Jack, kayaknya kau perlu diperiksa deh,” kata Derek. "Tapi yang kuceritakan tadi itu sungguhan,” protesku. “Kalian tidak percaya bahwa...” "Tidak, kami tidak percaya,” sela Henry. “Apa pernah kami percaya padamu? Tidak.” Ia mengambil sebuah bantalan sofa dan mulai melemparkannya dari satu tangan ke tangan lain, lalu ia menghantamkan bantal itu ke wajah Derek. Derek merampas bantal itu dan memukulkannya ke kepala Henry. “Hei, kalian ini gimana sih!” teriakku. “Ada makhluk asing mendarat di sini, tapi kalian malah menganggap itu lucu.” “Yang lucu itu kau!” balas Derek. “Lalu kenapa kalian datang ke rumahku?” tanyaku. “Kan kami sudah bilang. Untuk minta maaf,” kata Henry. Ia menjejalkan bantal itu ke wajah Derek. Derek berusaha merebutnya, tapi tidak berhasil. “Kau mau coba masuk tim renang, tidak?” tanya Derek. Henry mencoba menghantam Derek dengan bantal, tapi Derek merunduk, lalu mengacak-acak rambut Henry dengan kedua tangannya. “Hah? Tim renang?” Aku melongo. “Kok kalian malah memikirkan tim renang? Ada makhluk merasuki Mr. Liss, dan sekarang dia mulai menyebar... " “Kau sinting, tapi kami benar-benar memerlukanmu dalam tim,” kata Derek. “Kau kan perenang hebat,” tambah Henry. “Di kamp musim panas tahun ini kau berenang lebih cepat daripada yang lain. Kau malah mengalahkan beberapa pengawas kita.” “Kami benar-benar membutuhkanmu tahun ini, Jack,” kataderek. “Pelatih menyuruh kami membujukmu agar mau masuk tim.” “Tapi.” Tapi ucapanku terhenti. Mereka tidak akan mau mendengar. Mereka tidak akan percaya. "Oke, akan kucoba,” aku berbohong, padahal aku tak mau kembali ke sekolah. Mana mungkin aku kembali ke sana, setelah tahu Mr. Liss sudah kerasukan makhluk itu dan ia menungguku di sana? *** Keesokan paginya kucoba pura-pura sakit perut, tapi Mom memaksaku berangkat ke sekolah. Katanya dengan belajar aku akan lupa dengan sakit perutku. Aku jalan kaki sepelan mungkin ke sekolah. Anak-anak lain bergegas melewatiku. Marsha dan Maddy melambai padaku saat melaju lewat dengan sepeda masing-masing. Mereka semua tampak bahagia, pikirku. Begitu normal. Kalau saja mereka tahu... Tiba di sekolah, ternyata aku benar-benar sakit perut. Semua ototku terasa kencang dan tegang. Rasa takut membuat kakiku berat melangkah. Aku berjalan ke lokerku dan menggantung jaketku. Kuambil beberapa buku pelajaran dan rak atas dan kumasukkan ke ranselku. Aku menengok ke jam di lorong. Bel hampir berbunyi . Aku bergegas melangkah di lorong dan berbelok di sudut. Bisakah aku masuk ke ruangan Mrs. Hoff tanpa berpapasan dengan Mr. Liss? Ternyata tidak. Kulihat Mr. Liss berdiri di depan pintu kelasnya. Lampu di langit-langit membuat kacamatanya bersinar. Senyum lebar menghiasi wajahnya ketika ia melihatku. “Jack!” panggilnya. “Jack, t-t-t, kemarilah!” 9 AKU tertegun dan terkesiap ketakutan. Mr. Liss melambai-lambaikan tangan padaku dengan sangat senang. “Kemarilah, Jack. Jangan takut.” "Aduh...” Aku memandanginya dengan berdebar-debar. Kakiku gemetar. Aku mundur selangkah. "Jack...!” panggilnya, sekarang melambai dengan kedua tangan. “Jack!” Aku berbalik dan lari. Aku mesti lepas darinya dan aku mesti memperingatkan semua orang. Ranselku terguncang-guncang di punggungku sementara aku lari. Apakah Mr. Liss mengejarku? Aku tidak mau menoleh. Ruangan Mrs. Berkman sudah tampak di depanku. Ia adalah kepala sekolah SMP. Aku berhenti dan melesat masuk ke kantor itu. "Aku harus bertemu Mrs. Berkman!” kataku terengah-engah pada sekretaris. Sebelum ia sempat menjawab, aku sudah melesat ke tempat Mrs. Berkman yang sedang berdiri di samping mejanya, di ruang kantor belakang. “Hei, tunggu “ seru si sekretaris. Tapi aku sudah melewatinya. "Mrs. Berkman, Anda mesti menolongku! Anda mesti mendengarkanku!” teriakku. Mrs. Berkman bertubuh kurus pendek, dengan rambut pirang bergoyang-goyang dan mata biru pucat. Ia selalu memakai sweater dan celana panjang dan kelihatannya terlalu muda untuk menjadi kepala sekolah. Ia meletakkan kertas-kertas yang sedang dibacanya dan menyipitkan mata padaku. “Jack?” “Tolong,” kataku. “Ini penting. Aku...” Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Mrs. Berkman melewatiku dan menutup pintu kantornya, lalu menyuruhku duduk di depannya. Ia sendiri kemudian duduk di balik mejanya yang besar dan berantakan. “Tarik napas dalam-dalam, Jack,” katanya lembut. “Lalu ceritakan ada apa.” Aku menarik napas, tapi itu tidak bisa menenangkan debar jantungku dan gemetar tubuhku. “Ceritanya panjang,” kataku dengan suara ketakutan; mulutku kering sekali rasanya. “Ada makhluk angkasa luar mendarat di bumi. Dia ada di kamarku.” “Aku sudah dengar. Katanya kau punya masalah tentang itu di kelas,” sela Mrs. Berkman. Ia mencondongkan tubuh ke arahku sambil menarik-narik lengan sweater-nya, matanya menatapku lekat-lekat. “Kau dibawa ke perawat oleh Mrs. Hoff?” Aku mengangguk tak sabar. “Ya. Ya. Tapi itu tidak penting. Makhluk itu, memeluk Mr. Liss dan masuk lewat punggungnya. Sekarang makhluk itu ada di dalam tubuhnya.” "Wah!” Mrs. Berkman bangkit berdiri. Kursinya mundur menabrak dinding. “Pelan-pelan, Jack. Aku tidak mengerti.” Ia memutari mejanya. “Apa kau sedang cerita tentang film fiksi ilmiah yang kaulihat di TV?” "Tidak!” seruku “Tolong, percayalah padaku” Aku ikut bangkit berdiri. “Anda mesti memperingatkan orang-orang lainnya,” kataku. ‘Ini... ini berbahaya. Makhluk itu sangat besar dan menakutkan. Dia ada di dalam Mr. Liss dan dia ingin masuk ke dalam tubuh setiap orang. Anda mesti melaporkan ini ke polisi, atau FBI, atau Presiden... atau siapalah. Tolonglah, Mrs Berkman, aku minta dengan sangat. Tolonglah!" Mrs. Berkman memandangiku, lama. “Anda percaya padaku?” teriakku dengan nyaring. Anda percaya, kan?” Ia mengernyit, masih sambil menatapku. “Kulihat kau sangat cemas, Jack. Tapi aku tidak tahu mesti berpikir apa. Kenapa makhluk ini merasuki Mr Liss? Kapan itu terjadi? Di mana? Di sekolah?” Aku menarik napas panjang. “Di rumahku. Makhluk itu datang dalam pesawat bundar. Pesawat itu ada di kamarku . Lalu dia mulai. .. mulai membesar. Makhluk itu warnanya hijau seperti kadal, tapi dia semakin besar. Lalu Mr. Liss datang ke rumahku.” “Kapan?” tanya sang kepala. sekolah. “Kemarin siang. Lalu makhluk itu memeluknya, semakin erat dan semakin erat. Lalu...” Aku tercekat. Mulutku begitu kering dan kalimatku tersangkut di tenggorokan. “Tolong... percayalah padaku,” bisikku. Mrs. Berkman keluar dari balik meja dan mendekatiku. “Aku percaya padamu, Jack,” katanya pelan. “Aku tahu kau menceritakan yang sebenarnya” “Anda percaya?” tanyaku. Akhirnya! Akhirnya ada yang percaya juga padaku. “Kasihan kau,” kata Mrs Berkman. Ia menaruh kedua lengannya di bahuku. Gelembung-gelembung hijau keluar dari telinganya. “Kau sangat t-t-t cemas. Kau gemetar, Jack. Kemarilah. T-t-t. Mari kupeluk kau.” 10 MRS. BERKMAN melingkarkan lengan di tubuhku. "Tidak!” teriakku, lalu meronta-ronta. Aku tertumbuk kursi, tapi aku terus mundur hingga menabrak dinding. Sebuah pigura jatuh ke lantai dan kacanya pecah berantakan. "Kemarilah, Jack.” Sang kepala .sekolah melangkahi pecahan kaca itu dengan lengan terentang. “Jangan takut.” “Anda... Anda bicara dengan Mr. Liss pagi ini?” tanyaku sambil menepi-nepi ke arah pintu. Mrs. Berkman mengangguk. Senyum aneh menghiasi wajahnya. Matanya yang pucat seolah berputar-putar di kepalanya. Ia mendecakkan lidah beberapa kali. "Mr. Liss dan aku berbincang-bincang sejenak sebelum para murid datang,” katanya. “Dia baik sekali. T-t-t.” “Dia... dia memeluk Anda” teriakku. Aku beringsut selangkah lagi ke pintu. Mrs. Berkman mengangguk, rambutnya bergoyang-goyang di kepalanya. Ia mengulurkan tangan. Kuku-kuku panjang keperakan mencuat dari jemarinya. “Tidak sakit, Jack,” bisiknya. “Kau ingin menjadi salah satu dari kami, bukan?” “Tidak!” teriakku. “Tidak! Aku tidak mau! Aku ingin jadi diriku sendiri!” Mrs. Berkman menendang sejumput pecahan kaca dari kakinya. “Kami membutuhkan tubuhmu, Jack. Kami membutuhkan banyak tubuh. T-t-t.” Gelembung-gelembung hijau muncul lagi dan telinganya. Aku beringsut di tembok, tinggal beberapa meter dari pintu. “Satu pelukan saja, Jack,” desak si kepala sekolah. Kuku-kukunya yang runcing menimbulkan bunyi logam ketika Ia menyatukannya. “Tidak sakit kok. Kau tidak bakal merasakannya.” “Tidak. . .,“ kataku. “Tidak!” Senyum di wajahnya menghilang dan matanya berubah dingin. “Kau terlalu banyak tahu. Kami tidak mau kau membuka mulut sebelum yang lainnya datang. Sebelum kami siap.” Ia merunduk ke arahku. Aku lari ke pintu dan menyentakkannya membuka. Lalu aku melesat ke lorong... dan berhadapan dengan Mr. Liss. “Ini dia!” serunya, lalu ia memeluk pinggangku. 11 AKU melepaskan diri darinya dan lari di lorong depan yang panjang dan kosong. Sepatuku berdebum-debum di lantai yang keras. Ranselku ketinggalan di ruang Kepala Sekolah, tapi aku tidak mau kembali ke sana untuk mengambilnya. Aku menoleh dan melihat Mr. Liss dan Mrs. Berkman berjalan cepat mengejarku. Merekalah yang pertama-tama mesti masuk daftarku, pikirku. Aku bertanya-tanya, apakah Mr. Fleshman sudah mulai memerangi invasi makhluk asing itu. Perlukah aku memberitahunya bahwa makhluk itu sedang menyebarkan diri melalui sekolah? Kau terlalu banyak tahu. Begitulah kata Kepala Sekolah tadi. Kau terlalu banyak tahu. Ya, memang. Aku terlalu banyak tahu. Aku tahu persis apa yang terjadi. Dan aku satu-satunya anak yang tahu. Aku berbelok di sudut. Sekarang ambil arah yang mana? Bagaimana aku bisa meloloskan diri dari mereka? Aku mesti bersembunyi. Mesti mencari tempat aman, di mana aku bisa berpikir. Sekelompok anak menoleh ketika aku lari melewati perpustakaan. Kudengar seorang cewek memanggil namaku, tapi aku tidak berhenti. Tak mungkin sembunyi di perpustakaan. Aku menoleh ke belakang dan melihat Mr. Liss serta Mrs. Berkman berbelok di sudut. Aku menarik napas panjang dan lari lebih kencang. Dua orang guru sedang bersandar di pancuran air di ujung lorong. “Apa topik diskusi hari ini?” salah satu bertanya pada rekannya. “Penegakan hukum atau apalah. Pembicaranya dua orang polisi,” sahut guru satunya. Bagus, pikirku. Polisi... ada di sekolah kami. Bagus sekali. Aku bisa menceritakan semuanya pada mereka. Mereka akan menangkap Mr. Liss dan Mrs. Berkman sebelum kedua orang itu mulai memeluki orang-orang lain. Kedua guru itu menoleh kaget ketika aku lari melewati mereka. “Hei, pelan-pelan!” seru salah satunya. Aku mesti lolos dari Mr. Liss dan Mrs. Berkman. Mereka tak boleh sampai melihatku masuk ke auditorium. Kuputuskan untuk lari ke lantai dua, lalu turun lagi. Aku terbang sepanjang lorong, melewati ruang musik, ruang seni, dan lab. Lalu aku turun lagi lewat tangga lain. Masuk ke bagian belakang auditorium. Panggung terang benderang, tapi tempat duduk pengunjung masih gelap. Belum ada yang datang. Napasku yang terengah-engah bergema di ruangan luas itu. "Siapa di situ?” seru seseorang dari panggung. Aku merunduk ke dalam bayang-bayang gelap di sepanjang tembok auditorium. Dua pria dalam overall kelabu sedang menyiapkan milofon. Mereka melayangkan pandang ke auditorium, mencari-cariku. Aku bersandar rapat ke dinding dan menahan napas. Apa mereka melihatku? Tidak. Sambil saling bergumam, mereka kembali bekerja. “Tes... tes. Satu... dua. Tidak nyala.” kata salah seorang. Aku mendesah dan mencari tempat sembunyi. Kuputuskan untuk merunduk saja di kursi bagian belakang yang hampir sepenuhnya gelap. Tak lama kemudian, pintu-pintu auditorium dibuka. Anak-anak mulai masuk sambil berbicara keras-keras, tertawa dan saling dorong Mereka senang kalau ada acara seperti ini, sebab setidaknya jadi tidak ada pelajaran selama sekitar satu jam Sementara kursi-kursi mulai terisi, aku melompat dan bergabung dengan sekelompok anak yang menuju bagian tengah auditorium. Di antara deretan kursi kulihat Marsha dan Maddy melambai padaku. Tapi aku tidak mendekati mereka. Aku tidak mau duduk bersama kelasku, sebab di situlah Mr. Liss dan Mrs. Berkman akan mencariku. Aku bergerak ke barisan murid kelas delapan dan duduk sangat rendah di kursiku, sehingga aku tidak terlihat dari panggung. Aku terus melirik kiri-kanan, mencari-cari Mr. Liss dan Mrs. Berkman. Aku merasa tegang dan siap. Kalau mereka datang mencariku, aku akan melompat lari ke lorong lain. Aku tidak sabar menanti acara dimulai. Rasanya aku sudah berjam-jam sembunyi di auditorium ini. Sambil menunggu, kucoba memikirkan cara terbaik untuk menyampaikan ceritaku pada para polisi. Aku mesti bercerita dengan cepat dan sederhana, dan masuk akal. Jangan sampai aku terbawa rasa panikku sendiri. Aku mesti meyakinkan mereka agar percaya. Tapi aku tersentak ketika melihat Mrs. Berkman berjalan di lorong kiri. Aku merunduk, siap-siap melarikan diri. Tapi Mrs. Berkman sedang bicara pada dua cewek dari barisan penggembira. Ia lewat persis di lorong tempatku duduk dan tidak melihatku. Aku mengembuskan napas lega. Sambil bersandar ke kursi di depanku, kuamati Mrs. Berkman naik tangga di sisi panggung dan melangkah ke podium. Tanganku terasa dingin dan basah. Perutku mulas. Dalam hati aku melatih apa yang akan kukatakan pada polisi. Kubayangkan mereka menangkap Mr. Liss dan Mis. Berkman dan membawa keduanya. Lalu apa? Apa yang akan terjadi setelah mereka ditangkap? Akankah mereka ditangkap? Apakah dirasuki makhluk angkasa luar merupakan kejahatan? Terlalu banyak tanya! Aku tak bisa menjawabnya. Satu hal yang pasti — hanya aku yang bisa menyelamatkan seisi sekolah. Aku mendesah lagi ketika kedua polisi itu akhirnya naik ke panggung. Mrs. Berkman segera menyalami mereka. Kedua polisi itu duduk di kursi lipat di samping podium. Mrs. Berkman maju ke mikrofon. “Ini t-t-t berfungsi?” Kedua polisi tertawa, juga para murid. “Terlalu keras,” kata Mrs. Berkman. Ia mengetuk-ngetuk mikrofon itu beberapa kali. “Nah, sekarang lumayan. Harap tenang semuanya.” Ruangan hening. Aku merunduk, siap-siap kabur. Cahaya kuning lampu menyoroti Mrs. Berkman, "Kita sangat beruntung hari ini,” ia memulai, “kedatangan dua petugas polisi dari Kepolisian Los Angeles untuk berbicara pada kita.” Sementara ia berbiara, aku menyelinap dari kursiku dan berjalan di antara para murid kelas delapan. "Kau mau ke mana?” seseorang bertanya, tapi tidak kujawab. "Aduh” Seorang cewek berteriak ketika kakinya terinjak olehku. "Sori," gumamku, lalu aku berjalan ke lorong. "Sekarang saya mempersilakan Opsir Munroe dan Opsir Tunney maju ke panggung,” kata Mrs. Berkman. Ia mundur sementara kedua polisi itu berdiri. Para hadirin bertepuk tangan. Aku menunggu sampai keriuhan itu reda. Lalu aku lari ke arah panggung. Aku lari dengan tangan melambai-lambai liar di atas kepala. “Stop!” teriakku. “Hentikan semuanya. Kalian harus berhenti! Dengar, sekolah ini akan di serang makhluk angkasa luar!” ============================== Ebook Cersil (zheraf.wapamp.com) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ============================== 12 KUDENGAR anak-anak terkesiap. Beberapa tertawa. "Archer, kau mau apa sih?” seorang anak laki-laki berseru. "Si Manusia Piring Terbang mulai lagi,” gumam seseorang. Kudengar anak-anak saling bergumam dan berbisik kaget. Tapi aku tidak peduli. “Aku tidak bohong!" Aku berseru dengan napas tertahan pada kedua polisi itu. "Tolong... Anda mesti percaya padaku!” Auditorium serta-merta dipenuhi seruan kaget dan suara tawa. "Duduk!” teriak seseorang. "Siapa itu?” kudengar seorang guru berseru. "Ayo, Jack” seru seorang murid. Beberapa anak tertawa. "Tolonglah!” kataku. Kulihat kedua polisi itu mundur dengan terkejut, tubuh mereka tegang. Aku mencapai tangga di sisi panggung. “Aku mesti mesti menceritakan tentang makhluk itu!” kataku takut-takut. Aku tersandung di anak tangga; lututku terempas keras. Terdengar gemuruh tawa di belakangku. Rasa sakit merambati kakiku; lututku berdenyut-denyut. Dengan terhuyung-huyung aku naik ke panggung. Kedua polisi itu menatap tajam padaku. “Aku mesti memberitahu kalian semua...,” aku memulai. Jantungku berdebar keras sekali, sampai aku nyaris tak bisa bernapas. Mrs. Berkman bergerak cepat untuk menghalangi jalanku. Sambil melangkah ke depanku, ia memaksakan senyum di wajahnya. “Dengar!” aku berseru kepada kedua polisi itu dari balik bahu Mrs. Berkman. Tapi Mrs. Berkman mencengkeram kedua lenganku. “Tidak apa, Jack,” serunya, mengatasi gumaman dan teriakan anak-anak di kursi. “Tidak apa.” “Tidak!” protesku. Ia mencengkeram bahuku dan dengan lembut mendorongku mundur. “Dia sedang bingung,” katanya pada kedua polisi itu. “Maaf, tapi saya bisa mengatasinya.” Kedua polisi itu mengangguk. Ruang auditorium mendadak hening. Mrs. Berkman merangkulku dan memaksaku berjalan ke sisi panggung. “Silakan melanjutkan,” katanya pada kedua polisi. “Lepaskan aku!” protesku. "Tidak apa, Jack,” bisiknya lagi. “Tidak akan apa-apa." Ia mendorongku ke balik tirai, sehingga tidak tampak dari depan panggung “Oke,” bisiknya. Lalu ia melingkarkan lengan ke tubuhku. Memelukku . Makin erat. Makin erat... Terdengar suara kuku-kuku panjang dan tajam mencuat dari jemarinya. Aku tersentak kesakitan ketika kuku-kuku itu menekan punggungku. 13 "OHHH” Aku mengerang ngeri. Rasa dingin merambati punggungku. Dingin dan tajam, seperti es. Rasa dingin itu semakin nyata. Tidak, pikirku. Jangan biarkan dia melakukannya. Jangan biarkan makhluk itu masuk ke tubuhmu. Aku menarik napas dan berpikir keras, berusaha mengatasi rasa panik dan dingin yang makin menyebar. Lalu aku memejamkan mata dan menekuk lutut. Pura-pura pingsan. Aku terkulai ke lantai dengan lengan lemas. Kudengar Mrs. Berkman berseru kaget. Rasa dingin yang menyakitkan itu langsung reda. Mrs. Berkman berdiri memandangiku dengan ternganga. Sebelum ia sempat berbuat apa-apa, aku berguling dan melompat bangkit, lalu lari. Ia terbelalak dan mencoba meraihku dengan dua tangan. Tapi aku terus lari ke balik tirai, ke tengah tirai-tirai di belakang panggung, di antara kotak-kotak dan perlengkapan panggung lainnya. Terdengar suara langkah kaki monster itu. Dari balik tirai kudengar suara salah seorang polisi. Lalu tepuk tangan menggemuruh. Aku mesti bicara pada mereka! pikirku. Mereka harus tahu tentang Mr. Liss dan Mrs. Berkman. Tapi bagaimana cara memberitahukannya? Kalau aku lari ke atas panggung lagi, Mrs. Berkman akan menahanku sebelum aku sempat bicara. Aku merunduk ke belakang sebuah backdrop dan berjalan menepi sepanjang tembok belakang auditorium. "Jack di mana kau?” Mrs. Berkman berseru perlahan “Tidak apa-apa, jack Tidak akan sakit. Kau bisa merasakannya sendiri.” Aku berhenti. Tirai itu bergetar. Mrs. Berkman sedang bergerak cepat sepanjang sisi luar tirai. Bersembunyilah, Jack, perintahku pada diri sendiri. Bersembunyilah. Aku menoleh ke kiri-kanan dengan panik. Di dekat pintu belakang ada setumpuk kardus. Tidak. Dia akan menemukanmu dengan mudah di belakang sana. “Jack, di mana kau? Kau tidak bisa sembunyi dariku.” Ia semakin dekat. Aku berbalik dan berjalan cepat ke arah tempat aku datang tadi. Kulihat di depan tirai ada sebuah peti besar berselimut debu. Kosongkah peti itu? Kuangkat tutupnya. dan aku melongok ke dalamnya. Iiih! Bau debu yang asam dan tajam menyerang hidungku. Debu dan jamur. Peti itu penuh dengan kostum-kostum lama yang sudah lusuh. Aku menutupi mulutku. Perutku bergolak. Bau itu sangat tajam, sampai-sampai aku merasa mual. “Jack, jangan coba-coba bersembunyi,” seru Mrs. Berkman. Ia semakin dekat. Sebentar lagi ia pasti menemukanku dan ia akan menangkapku. Aku masih ragu sesaat, merasakan bau asam memuakkan dari dalam peti itu. Tapi aku tak punya pilihan. Dengan gemetar hebat aku memanjat sisi peti itu... dan masuk ke dalamnya. “Jack? Jack?” Kudengar monster itu berbisik memanggil saat aku menurunkan tutup peti. Apakah dia melihatku? Aku meringkuk dalam gelap sambil memeluk tubuhku dan menahan napas. Tapi bau memuakkan itu tetap saja menyerang mulut dan hidungku. Aku... aku tak bisa bernapas di dalam sini, pikirku, mulai panik. Belum pernah aku mencium bau memuakkan begini. Langkah-langkah kaki yang cepat dan tajam mendekat hampir-hampir membuatku terlonjak. Tapi langkah-langkah itu menjauh dengan cepat. Mrs. Berkman berjalan melewatiku. Aku mendesah lega. Perutku bergolak lagi. Aku menelan sekali, dua kali, berusaha menahan mual. Kupejamkan mataku, lalu memasang telinga. Polisi satunya sedang berbicara. Aku mendengarnya dengan jelas. Ia sedang menjawab pertanyaan dari hadirin. Dengan pelan dan hati-hati aku mengangkat tutup peti dan mengintip ke luar. Mengejutkan! Ternyata aku bisa melihat bagian depan panggung. Kulihat polisi yang kurus dan jangkung itu berdiri di podium, berbicara di mikrofon, dan kulihat rekannya duduk bersilang kaki di kursi lipat. Aku akan menunggu di dalam peti yang menjijikkan ini pikirku. Mungkin aku bisa bertahan sampai acara ini selesai, sampai kedua polisi itu pergi. Lalu aku akan melompat ke luar dan menceritakan kisahku pada mereka. Keringat membasahi keningku. Perutku berputar-putar. Aku memencet hidung dan bèrnapas melalui mulut. Bau ini akan terus melekat di tubuhku, pikirku. Aku bakal terus menciumnya seumur hidup. Tutup peti itu kutahan sedikit dan aku terus mengintip ke luar. Akhirnya si polisi meninggalkan podium dan ikut duduk dengan rekannya. Tepuk tangan membahana. Acara sudah selesai. Aku menelan ludah dan mengangkat kedua tutup peti dengan dua tangan, lalu siap-slap melompat. Di podium, Mrs. Berkman mengucapkan terima kasih pada kedua polisi. Lalu ia menyuruh anak-anak cepat-cepat kembali ke kelas untuk pelajaran berikutnya. Kemudian ia mendampingi kedua polisi itu turun panggung, menuju ke arahku, beberapa meter dari petiku. “Terima kasih banyak,” kudengar Mrs. Berkman berkata. “Kalian bagus sekali tadi.” Aku mengangkat tutup peti kayu yang berat itu lebih tinggi dan terbelalak ngeri melihat si kepala seko1ah memeluk kedua polisi itu. Kulihat mereka terkesiap kaget saat Mrs. Berkman merangkul mereka dengan erat, semakin erat. Kuku-kukunya yang panjang melesat keluar, dan ia menghunjamkannya dalam-dalam ke punggung kedua polisi itu. Pelan-pelan ekspresi terkejut di wajah kedua polisi itu memudar saat si makhluk asing telah memasuki diri mereka. “T-t-t. Kami selalu senang bisa berdiskusi dengan anak-anak sekolah,” kata polisi yang kurus tinggi. Gelembung-gelembung hijau muncul dari kedua telinganya. Mrs. Berkman tersenyum senang. “Pertanyaan-pertanyaan mereka t-t-t bagus-bagus,” kata polisi satunya. Ia menggaruk bahunya kiri-kanan, lalu membuat suara-suara berdecap keras dengan bibirnya. Aku menurunkan tutup peti dan terenyak lemas. Ini sudah keterlaluan, pikirku. Kedua polisi itu sudah terkena juga. Aku mesti menambahkan nama mereka ke dalam daftarku, pikirku. Kucoba mengingat-ingat nama mereka. Apa yang akan mereka lakukan sekarang? pikirku. Menyebarkan makhluk itu ke seluruh kepolisian? Aku mesti pulang. Semakin banyak orang yang kerasukan makhluk asing itu Aku mesti melaporkan ini pada Mr Fleshman, mesti memastikan ia dan para agennya tahu apa yang terjadi. Aku menunggu hingga kedua polisi dan Mrs. Berkman sudah pergi dan auditorium itu sudah kosong. Lalu aku keluar dari peti yang bau dan menjijikkan itu. Aku menyeka keringat di wajahku dan menarik napas panjang beberapa kali, menghirup udara segar. “Aku mesti keluar dari sini,” gumamku sendirian. Aku berjalan ke bagian belakang auditorium, melangkah ke lorong, dan hendak menuju pintu. Mendadak dua anak lelaki mencengkeram lenganku dengan kasar. “Henry!” seruku. “Derek!” “Kau mesti ikut dengan kami,” paksa Derek. “Kenapa? Ke mana kalian mau membawaku?” seruku. "Ke mana?" 14 HENRY terkikik-kikik. “Kau kenapa sih, Jack?” "Ikut sajalah dengan kami,” perintah Derek. Mereka menyeretku ke sudut, lalu masuk ke sebuah pintu di tengah lorong. “Ruang loker?” seruku “Ada apa ini? Kalian mau apa?” Mereka melepaskanku begitu seseorang muncul dari balik barisan loker. “Ini dia orangnya, Coach Finney,” lapor Derek. “Kami menemukannya.” “Dia lupa untuk tes renang,” kata Henry. Coach Finney mengernyit padaku sambil mendekat. Ia mengenakan kaus tanpa lengan dan celana renang hitam longgar. Ia masih muda, hampir sependek aku, tapi sangat kekar, dengan dada lebar dan otot menonjol. Matanya biru pucat dan rambut hitamnya dibuntut kuda. Banyak cewek menganggap ia tampan. Aku tahu Marsha dan Maddy naksir berat padanya. “Kau lupa ikut uji-coba?" tanyanya sambil menyipitkan mata “Kau yakin mau ikut masuk tim renang?” Henry dan Derek mengawasiku. “Ya, mau,” kataku pada Coach Finney “Tapi sekarang aku sedang buru-buru. Apa tidak bisa..." Coach Finney tertawa. “Sedang buru-buru?” Ia melihat arlojinya “Aku akan menulis surat izin untukmu, supaya kau masuk pada jam pelajaran berikutnya saja.” “Tapi.. tapi.. “ Bagaimana mungkin aku ikut tes renang sementara segerombolan makhluk asing sedang mengambil alih seisi sekolah? Atau mungkin seantero L.A.? “Ganti pakaian!” perintah Coach Finney. “Ada celana renang di lemari itu, kalau kau tidak bawa celana sendiri. Cari yang tidak bakal melorot di air. Kalau sampai celanamu melorot, nilaimu dikurangi sepuluh.” Ia tertawa, Henry dan Derek juga. Aku tercekat. Aku tidak bersemangat untuk berenang. Aku mesti pergi dari sini, mencari bala bantuan. Bagaimana kalau aku kabur saja dan menjelaskan nanti? Tapi Henry dan Derek tidak bakal membiarkanku lolos begitu saja. Akhirnya kuputuskan untuk menyelesaikan tes itu secepatnya, lalu aku akan bergegas ke rumah Mr. Fleshman. “Sampai ketemu di kolam,” kata Coach Finney. Lalu ia menghilang di balik barisan loker. “Cepatlah,” desak Henry. “Kau pasti bisa,” kata Derek. Ia mengajakku ber-high five. Akan kubereskan urusan ini secepat mungkin, pikirku. Aku mencari celana renang yang pas untukku di lemari, lalu ganti pakaian. Tak lama kemudian, aku membuka pintu yang menuju kolam renang. Udara panas dan bau klorin menguar menerpaku. Coach Finney duduk di papan loncat, menuliskan sesuatu di clipboard. Kulihat ada empat anak lain yang akan ikut tes. Mereka sudah ada di kolam, sedang melakukan pemanasan. Henry dan Derek duduk bersilang kaki di tepi kolam. Celana renang mereka masih kering. Aneh, pikirku. Biasanya mereka berdua senang main air. Aku tahu mereka tidak perlu ikut tes, sebab mereka adalah kapten tim renang. Tapi kenapa mereka tidak masuk ke kolam? Henry mengangkat ibu jarinya ke arahku. Derek membuat gerakan berenang dengan lengannya. “Semoga sukses!” serunya. “Trims!” aku balas berseru. Aku masuk ke air yang hangat. Saat melakukan pemanasan, aku merasa otot-ototku sangat tegang dan kaku. Air yang hangat itu terasa menenangkan. Aku menyelam ke bawah dan berenang ke seberang. Ketika aku muncul lagi, Coach Finney sedang membunyikan peluitnya. Kami berlima berenang ke papan loncat. “Kuminta kalian semua berenang sekali lagi kali ini kecepatan akan dihitung,” kata sang pelatih sambil melepaskan buntut kudanya. “Kalian harus berenang cepat. Berlomba.” Anak-anak di kolam renang mengeluh. Aku memandangi para perenang itu satu per satu. Aku kenal mereka semua, tapi aku tidak tahu apakah mereka perenang andal atau tidak. Siapa tahu ada yang bisa menandingiku. “Naiklah,” perintah Coach Finney. “Aku ingin melihat kalian berlomba dari sisi ini, dua kali bolak-balik.” Kami semua naik sambil mengibas-ngibaskan air dari tubuh, seperti anjing basah. Coach Finney berkata pada Henry dan Derek, “Bagaimana kalau kalian ikut berlomba? Biar mereka lebih bersemangat.” Kulihat Henry dan Derek saling pandang. Mereka tampak ketakutan. Benarkah? Tidak Jack, itu cuma bayanganmu saja, pikirku. “Ehm... aku tidak bisa berenang hari ini, Coach,” gumam Henry sambil menunduk. “Aku kena flu.” “Aku juga tidak bisa,” kata Derek; “Aku kena infeksi telinga.” Aneh, pikirku. Biasanya mereka tidak begini. Tapi aku tidak sempat memikirkannya. Coach Finney meniup peluitnya dan perlombaan dimulai. Aku kurang bagus ketika start. Gerakan terjunku canggung dan aku jatuh ke air jauh di belakang yang lainnya Aku berusaha mengejar mereka, bergerak dengan lambat tapi pasti. Lalu aku mulai menambah kecepatan dan berenang dengan kekuatan penuh pada putaran terakhir. Napasku terengah-engah ketika mendekati akhir, tapi rasanya menyenangkan. Aku berenang dengan mulus dan lebih cepat daripada biasanya. Mungkin segala ketegangan dan ketakutanku tadi pagi membuatku sangat lelah dan sekarang otot-ototku senang mendapat pelepasan. Aku menang, jauh lebih cepat daripada yang lainnya. “Bagus sekali, Jack!” seru Coach Finney. Ia maju ke tepi kolam untuk membantuku naik. “Sangat mengesankan. Cara terjunmu masih harus diperbaiki, tapi ayunan tanganmu benar-benar bagus.” Sambil terengah aku mengucapkan terima kasih, lalu menoleh pada Henry dan Derek. Aku kaget melihat mereka ternyata tidak ada. Aneh, pikirku. Mereka menyeretku kemari, tapi tidak mau melihatku berlomba. Coach Finney melemparkan handuk padaku. Aku mengalungkannya di leher dan beranjak ke ruang loker. Sambil berjalan, aku kembali merasa tegang. Aku senang telah berenang. Pikiranku jadi teralihkan dari makhluk asing itu. Tapi sekarang aku kembali ketakutan. Aku merinding ketika masuk ke ruang loker. Cepat-cepat aku menuju lokerku sambil mengeringkan tubuh. “Aku mesti keluar dari sekolah ini,” gumamku sendirian. Kulemparkan handukku ke lantai, lalu kubuka pintu loker. “Hei!” Aku berseru kaget ketika Henry dan Derek muncul dari balik sederetan loker “Kalian mengagetkan aku saja,” kataku. Mereka tertawa. “Kalian dari mana?” tanyaku “Lihat lomba tadi, tidak? Kalian tahu aku mengalahkan yang lainnya?” Mereka tidak menjawab. Senyum Henry memudar. Ia melangkah ke depanku. “Kau mau apa?” seruku. “Kenapa kau ini?” Derek bergerak ke belakangku. Aku melirik, dan menyadari bahwa aku terperangkap di antara mereka. “Hem” protesku. “Tidak akan t-t-t sakit, Jack,” gumam Henry. “Sungguh. T-t-t sama sekali tidak sakit.” Aku tak bisa bergerak. Juga tak bisa menjerit. Mereka mengangkat tangan dan mulai mendekat ke arahku. 15 SAMBIL menggeram aku mendorong mereka dengan sikuku, lalu merunduk dan berusaha meloloskan diri. Tapi Henry dan Derek bertubuh besar dan kuat. Mereka merangsek ke arahku dan memegangiku sambil mendecak-decak senang. Habislah aku, pikirku. Aku akan menjadi salah satu dari mereka. “Ada apa ini?” sebuah suara berseru. “Hah?” Kedua anak itu tersentak dan mundur. Coach Finney muncul sambil memandangi kami dengan curiga. “Kami cuma memberi selamat pada Jack,” kata Derek. Ia menepuk-nepuk punggungku. “Dia hebat,” Henry menimpali. “Derek dan aku sudah yakin dia pasti berhasil.” “Biarkan dia berpakaian,” kata Coach Finney. “Kalian ikut denganku. Aku perlu bantuan.” Ia mengajak Henry dan Derek pergi. Aku mendesah lega. Tanganku gemetar hebat. Sekarang ada dua nama lagi yang mesti kutambahkan pada daftarku. Siapa yang memeluk kedua temanku? pikirku. Mr. Liss-kah? Atau Mrs. Berkman? Atau orang lain lagi? Berapa banyak guru yang sudah kerasukan? Berapa banyak anak? Aku membuka pintu ruang loker dan melongok ke lorong. Setelah yakin tidak ada yang mengawasi, aku lari ke pintu. Aku mengira akan ada yang meneriakiku atau menghadangku. Tapi aku berhasil keluar dengan aman ke udara siang yang panas berawan. Di luar sini basah dan lembap, seperti di dalam kolam renang tadi. Setelah menarik napas panjang, aku lari melintasi pekarangan sekolah yang sudah kosong, juga melewati tempat parkir untuk guru. Lalu aku menyeberang jalan dan terus berlari. Kakiku sakit sehabis berenang tadi, tapi tidak kupedulikan. Hujan mulai turun rintik-rintik. Aku lari dengan kecepatan penuh. Aku mesti berhenti di sudut berikutnya karena ada mobil besar lewat. Lalu aku lari lagi. Beberapa saat kemudian rumahku sudah kelihatan. Mom pasti ada di rumah, pikirku. Ya, Mom tidak ke kantor hari ini, sebab Billie masih belum sehat. Kalau saja Mom mau percaya padaku, pikirku. Kalau saja aku bisa meyakinkan Mom bahwa aku tidak berbohong. Bahwa kami semua benar-benar dalam bahaya. Aku mesti mencoba sekali lagi. Kubuka pintu depan dan aku menyerbu masuk ke lorong. “Mom! Mom!” teriakku terengah-engah. “Mom di mana?” Tidak ada jawaban. Aku berhenti di lorong belakang. “Mom? Mom ada di sini?” Tidak ada jawaban. Aku melongok ke setiap ruangan, lalu berbalik dan lari ke tangga depan. “Mom ada di atas? Aku mesti bicara. Mom?” Terdengar bunyi kerai berdetak-detak menimpa jendeia. Selain itu tidak ada suara lain. “Aneh,” gumamku. Aku pergi ke dapur, satu-satunya ruangan yang belum kulongok. “Mom?” panggilku. “Ini aku. Aku...” Aku masuk ke dapur dan tersentak. Apa itu yang bersinar-sinar di lantai dapur? Kubangan hijau mengilap. Lendir hijau. Gumpalan lendir hijau di lantai, dekat meja. “Dia kemari,” gumamku. Makhluk asing itu tadi kemari. Dengan ngeri kupandangi gumpalan-gumpalan hijau itu. Mom? Billie? Apa yang terjadi pada mereka? Apa yang dilakukan makhluk itu pada mereka? 16 AKU merasa mual. Perutku bergolak saat kupandangi gumpalan-gumpalan hijau itu. Aku terus memandangi sampai semuanya menjadi kabur di mataku. Lalu aku mengangkat kepala dan melihat catatan di pintu lemari es. “Hah?” Aku berusaha menyadarkan diriku, mengusir rasa takut. Mom selalu meninggalkan catatan untuk kami di pintu kulkas. Seperti yang satu ini. Kuambil catatan itu dengan tangan gemetar dan kubaca tulisan Mom yang rapi: Jack, amandel Billie kambuh lagi. Dia sampai tidak bisa menelan Jell-O limau kesukaannya. Dad dan aku membawanya ke dokter. Kami akan meneleponmu secepatnya. Buatlah roti selai kacang untuk kaumakan kalau kami belum pulang saat makan malam. Salam sayang. M. Kubaca catatan itu dua kali. Akhirnya kubiarkan kertas itu jatuh ke lantai dan aku mendesah lega. “Wow,” gumamku. “Kasihan Billie.” Apa dia dibawa ke rumah sakit? Apa amandelnya mesti dibuang? Sakitkah operasi amandel itu? Kubaca catatan tadi sekali lagi. Jell-O limau. Jell-O limau.... “Wow,” gumamku. Aku mengempaskan tubuh ke lantai, di samping meja dapur. Kucolek gumpalan hijau itu, lalu kuendus-endus, dan kujilat. Benar. Jell-O limau. Bukan lendir makhluk asing. Setidaknya keluargaku selamat dari makhluk itu, pikirku. Untuk sementara ini. Aku berdiri dan memandang ke sekeliling dapur. Piring-piring bekas sarapan masih ada di bak cuci piring. Aku sendirian di sini, pikirku. Kalau Billie dibawa ke rumah sakit, berarti aku akan sendirian sampai larut malam. Aku jadi merinding. Bagaimana kalau makhluk-makhluk itu datang mencariku? Mr. Liss. Mrs. Berkman. Henry dan Derek. Bagaimana kalau mereka kemari? Bagaimana aku bisa melindungi diriku? Kuputuskan untuk mengikuti nasihat Mr. Fleshman. Akan kukunci semua pintu. Kalau ada yang mengetuk tidak akan kubukakan. Siapa pun. Bel pintu berbunyi. “Tidak!” Aku hampir-hampir terlompat. Aku terpaku di ambang pintu dapur. Bel berbunyi lagi. Dan lagi. “Jack, kau ada di rumah?” Suara cewek. Aku berjalan ke ruang tamu dan mengintip dari jendela depan Marsha dan Maddy. Mau apa mereka? Kenapa mereka kemari? Kan belum bubaran sekolah. Bel berbunyi lagi. Aku beranjak ke pintu, tapi tidak membukanya. “K-kalian mau apa?” tanyaku terbata-bata. “Kami mau masuk!” seru Marsha. “Jack, kami takut!” kata Maddy. “Takut? Takut apa?” tanyaku dari balik pintu. “Ada yang aneh sekali di sekolah,” sahut Maddy. “Kami takut, Jack,” kata Marsha. “Kami ingin bicara denganmu. Bukakan pintu dong.” Aku bimbang. Bisakah mereka kupercaya? Bisakah? 17 AKHIRNYA aku melepaskan rantai pintu dan membuka pintu itu sedikit. “Jack, buka dong!” desak Maddy. Aku memandangi mereka, untuk mengira-ngira apakah mereka sudah kerasukan. Rambut Maddy tampak acak-acakan dan mata birunya tegang. Marsha tampak ketakutan. Dahinya berkeringat. “Kau kenapa sih, Jack?” tanya Maddy. “Kenapa kami tidak boleh masuk?” Aku ragu-ragu. Mereka tidak mendecak-decak, juga tidak mengeluarkan gelembung-gelembung hijau dari telinga mereka. “Kalian mau memeluk aku, ya?” tanyaku. Marsha tertawa. Maddy cemberut. “Tidak usah ya!” kata Maddy. “Kau ini sinting deh.” Akhirnya aku membuka pintu. Mereka menyerbu masuk, sampai-sampai ransel mereka menyenggolku dengan keras. Kuikuti mereka ke ruang tamu. Aku bingung, perlukah aku menceritakan tentang pesawat makhluk asing itu? Aku tidak mau membuat mereka ketakutan. Lagi pula belum tentu mereka akan mempercayaiku. “Ada apa?” tanyaku. “Kalian kelihatannya benar-benar ketakutan.” “Henry dan Derek bertingkah aneh sekali,” kata Maddy sambil menoleh ke luar jendela. Marsha menggigil. “Mudah-mudahan mereka tidak mengikuti kami kemari.” “Memangnya mereka kenapa?” tanyaku. “Cara bicara mereka aneh,” sahut Maddy sambil menyibakkan rambutnya dengan satu tangan. “Mereka lain sekali dari biasa.” “Apa mereka mencoba memeluk kalian?” tanyaku. Marsha merinding lagi. Maddy hendak menjawab, tapi sebuah suara BLUK keras di luar membuat kami sama-sama terlompat. “Pasti Henry dan Derek!” kata Marsha sambil mengangkat tangan ke pipinya. “Mereka memang mengikuti kami.” Lagi-lagi terdengar suara BLUK itu. Kami lari ke jendela. Kulihat sesuatu menghantam batang pohon pinus di jalan depan dan melambung ke rumput. “Batu!” teriakku. Sebuah batu bundar berwarna jingga, seukuran sofbol. Marsha dan Maddy menjerit ketika sebuah bola jingga jatuh lagi di jalan. Mendadak aku sadar. Invasi sudah dimulai. Kata Mr. Fleshman, masih banyak makhluk asing yang sedang dalam perjalanan. Sekarang mereka sudah tiba, mendarat di jalanan dan pekarangan-pekarangan. Melambung ke bumi dalam bola-bola jingga yang persis seperti bola yang kutemukan. “Gawat!” teriakku. Meski ketakutan, aku mesti melihat. Aku lari ke depan, membuka pintu, dan menghambur ke luar. Marsha dan Maddy mengikutiku. Aku ternganga ketika melihat hujan bola jingga itu. Banyak sekali yang jatuh di blok kami. Dengan berdebar-debar aku menoleh pada Marsha dan Maddy, mengira mereka akan tampak ketakutan dan terheran-heran seperti aku. Tapi mereka malah tersenyum. “Sudah t-t-t waktunya mereka datang,” kata Maddy. “Yeah. Kenapa mereka lama sekali?” sahut Marsha. “Teman-teman kami sudah t-t-t tiba,” kata Marsha. “Jangan coba-coba lari, Jack,” kata Maddy. “Kau kalah sekarang.” 18 "TIDAK” Aku menjerit keras dan berbalik dari mereka. Mereka hendak mencengkeramku, tapi aku sudah lari. Aku masuk kembali ke rumah dan mengempaskan pintu depan. Kudengar mereka menjerit marah ketika aku berusaha mengunci pintu. Kupasang kembali rantai pintu ke tempatnya. “Biarkan kami masuk” seru Maddy. Mereka menggedor-gedor pintu. Pintu berguncang oleh empasan-empasan keras. BUK... BUK... Mereka menggedor dengan bahu rupanya. Mencoba merobohkan pintu. “Kau tidak bisa lari dari kami, Jack!” seru Maddy. BUK... BUK... “T-t-t, kami semua sudah di sini sekarang,” seru Marsha. “Kami sudah siap.” “Kami butuh t-t-t tubuhmu, Jack” “Tidak akan sakit Sungguh” “Satu pelukan saja. Satu pelukan cepat, dan kau akan menjadi salah satu dari kami.” “Biarkan kami masuk!” Pintu berdebam lagi dengan suara BLUK keras. Bisakah pintu ini bertahan? Bisakah? Terdengar suara keras dari atas dan sebuah pesawat angkasa luar menghantam atap rumah. “Pintu belakang dikunci tidak?” teriakku keras-keras. Aku sudah setengah jalan ke dapur ketika telepon berdering. “YAAAI!” aku menjerit kaget dan menyambar telepon di tembok dapur. “Halo?” “Jack?” “Dad?” “Jack, aku di rumah sakit,” kata ayahku. Aku berusaha menajamkan telinga di antara deru napasku. “Billie mesti operasi amandel,” kata ayahku. “Ibumu dan aku akan di sini sampai larut malam. Kau tidak apa-apa?” “Tidak, aku ketakutan!” teriakku panik. Bahkan dari sini pun bisa kudengar Marsha dan Maddy menggedor-gedor pintu depan. “Apa katamu?” tanya Dad. “Aku tidak dengar, Jack. Di sini berisik sekali. Aku di lobi masuk.” “Aku ketakutan!” teriakku. “Dad mesti cari bantuan. Ada makhluk angkasa luar mendarat di bumi. Jumlahnya ratusan. Mereka mendarat di pekarangan depan.” Aku menarik napas panjang dan menunggu jawaban Dad. Terdengar suara-suara di seberang sana, dan dering telepon. Dad mendesah berat di telepon. “Jack,” katanya akhirnya. “Aku benar-benar kecewa padamu.” “Hah?” Aku terperanjat. “Adikmu sedang di rumah sakit. Ini bukan waktunya main-main.” Ia kedengaran marah. “Tapi, Dad...,” aku mencoba protes. “Kau bisa lebih dewasa, tidak?” lanjut Dad. “Bisakah kaulupakan cerita konyolmu itu dan bersikap dewasa?” “Dad, Marsha dan Maddy ingin memelukku,” kataku. “Mereka kerasukan. Mereka. ..“ “Cukup!” Dad berseru marah. “Dengar, Jack. Kerjakan PR-mu dan buatlah sesuatu untuk makan malammu. Jangan bersikap konyol!” Konyol? Aku tercekat. Aku mesti membuat Dad mengerti, mesti membuatnya percaya. Ada satu pesawat lagi mendarat di atap, meluncur ke bawah, dan mendarat di rumput, di luar jendela dapur. Aku menarik napas panjang. “Dad, dengarkan,” aku memulai. Di seberang sana hening. “Dad?” Rupanya ayahku sudah menutup telepon. Kulemparkan telepon itu dan aku lari ke jendela depan, melongok ke luar. Marsha dan Maddy sudah menghilang. Aku mendesah lega. Pintu depan bisa bertahan. Tapi untuk berapa lama? Aku memandang ke jalan. Udara penuh dengan suara batu-batu yang membelah. Kedengarannya seperti letupan ratusan petasan kecil-kecil. Semua pesawat angkasa luar itu membelah seperti telur. Para penghuninya mulai bermunculan. Mulanya mereka tampak seperti serangga-serangga hijau seukuran belalang. Lalu mereka mulai besar, seperti kadal hijau yang gemuk. Dan mereka terus bertambah besar. Cepat sekali. Mereka berdiri dengan kaki belakang, gigi mereka muncul, kaki mereka melangkah di tanah dan lengan-lengan mereka yang ramping mulai ditumbuhi otot raksasa. Tangan-tangan mereka yang berjari empat mencakar-cakar udara. Aku memandang dengan ngeri dari balik jendela, ketika makhluk-makhluk itu mulai menyebar ke segala arah. Mata mereka yang menonjol bergerak-gerak di bawah cangkang keras di atas kepala mereka. Lendir kental keluar dari tubuh mereka yang mengilap, membasahi rumput. Mendadak dadaku serasa akan meledak. Tanpa sadar aku menahan napas lama sekali rupanya. Aku mengembuskan napas panjang dan kembali memandangi pekarangan depan yang rumputnya penuh oleh bola jingga dan lendir putih. Makhluk-makhluk itu menjauh, masih terus membesar sementara mereka berjalan. Mereka akan memenuhi seluruh wilayah ini, pikirku. Terdengar pekikan dan seruan keras dari seberang jalan. Anjing-anjing menggonggong marah. Kulihat Mr. dan Mrs. Anderson lari keluar dari rumah mereka dengan panik. Sebuah mobil polisi berhenti dan dua petugas polisi melompat keluar. Suami-istri Anderson lari ke arah polisi-polisi itu sambil bicara dengan panik. “Kalian mesti bertindak!” teriak Mr. Anderson. “Tidak bisakah kalian melakukan sesuatu?” Lalu kulihat kedua polisi itu maju dengan cepat. Salah seorang memeluk Mr. Anderson dan rekannya memeluk Mrs. Anderson. Kulihat kuku-kuku panjang muncul dari tangan mereka dan dengan ngeri kusaksikan kedua polisi itu menghunjamkan kuku mereka ke punggung tetanggaku. Suami-istri Anderson berdiri terpaku sejenak, lalu mereka cepat-cepat pergi untuk memeluk orang lain. “Seluruh wilayah ini. ..,“ gumamku pada diri sendiri. “Seluruh wilayah ini akan celaka.” Penuh ketakutan aku menempelkan wajah di kaca jendela, melihat dan mendengarkan. “Mr. Fleshman,” gumamku mendadak. Apa tindakannya atas peristiwa ini? Apa yang dilakukannya untuk menghentikan invasi ini? Apakah ia ada di luar sana bersama agen-agennya, bersiap menghadapi makhluk-makhluk ini? Bagaimana ia bisa memerangi mereka? Mereka banyak sekali dan menyebar dengan cepat. Daftar namaku tidak akan ada gunanya kalau semua orang di L.A. ikut menjadi korban. Aku beranjak ke pintu belakang. Mr. Fleshman menyuruhku tetap di rumah, tapi aku tak bisa. Aku mesti tahu, apa yang dilakukannya. Ketika aku akan membuka pintu, telepon berdering. Dengan berdebar aku mengambilnya. “Jack?” “Dad?” “Maaf tadi pembicaraan kita terputus. Apa kau sudah tenang? Kau baik-baik saja?” “Tidak, Dad!” teriakku. “Dad... seluruh wilayah ini... Mereka sudah mendarat!” “Aku tidak dengar!” teriak Dad. “Sambungannya jelek sekali. Dan di sini berisik sekali.” “Dad, dengarkah...,” pintaku. “Ibumu dan aku akan pulang larut malam sekali. Kau bisa tidur sendiri? Kami akan menengokmu di kamar begitu kami pulang nanti.” “Tapi, Dad...” “Billie sedang dioperasi,” kata ayahku. “Kalau semuanya berjalan lancar, mungkin besok dia bisa pulang.” “Bagus,” kataku. “Tapi di sini tidak aman. Makhluk-makhluk itu..." “Kau mungkin harus pergi sendiri ke sekolah,” teriak Dad. “Ibumu dan aku akan ke rumah sakit pagi-pagi sekali. Kami tidak mau Billie bangun sendirian di rumah sakit.” “Aku tidak bisa kembali ke sekolah itu,” kataku. “Dad, kita mesti bicara begitu Dad pulang malam nanti.” “Apa katamu?” tanya Dad. “Sudah dulu, ya? Ada yang mau memakai telepon. Sampai nanti, Jack.” Sambungan terputus. Kuletakkan kembali ke tempatnya. Aku gemetar hebat. “Kenapa dia tidak mau dengar?” teriakku. Aku menarik napas panjang. Hanya satu orang yang mau mendengar. Satu orang yang tahu apa yang terjadi. Mr. Fleshman. Aku hendak ke pintu lagi... tapi lalu berhenti. Makhluk-makhluk itu sudah menyebar di seluruh wilayah ini, pikirku. Bagaimana kalau ada yang menungguku di pekarangan belakang? Misalnya ada selusin? Aku berbalik dan lari ke atas. Dari jendela kamarku aku bisa melihat ke pekarangan dan ke rumah Mr. Fleshman. Aku pergi ke jendela, membukanya, dan melongok ke luar. Dengan cepat aku menyapukan pandangan ke pekarangan belakang. Kulihat pesawat-pesawat jingga itu bertebaran di rumput, tapi makhluk-makhluknya tidak ada. Di seberang pekarangan kulihat lampu menyala di rumah Mr. Fleshman. Aku menajamkan mata ke jendelanya. Kulihat ia ada di sana. Sedang apa dia? Duduk di kursi empuk dengan kaki diangkat? Aku terenyak. Dia sedang nonton TV. Dia duduk tenang-tenang nonton TV? Kenapa dia tidak bertindak? 19 MUNGKIN Mr. Fleshman sedang menunggu laporan dari para agennya, pikirku. Ia pasti punya rencana. Ketika aku bicara dengannya, kelihatannya ia sama sekali tidak cemas. Aku akan bertindak sesuai perintahnya, pikirku. Aku tidak akan pergi ke rumahnya. Aku di sini saja. Akan kutunggu sampai ia mengatakan semuanya sudah aman. Tapi aku mesti memperingatkan Mom dan Dad. Dan aku mesti menunjukkan pada mereka bahwa aku tidak bohong. Aku tak peduli mereka akan pulang larut malam. Akan kutunggu mereka dan kupaksa mereka mendengarkan. Hari itu berlalu lambat sekali, dan sangat menakutkan. Meski di sebelah ada Mr. Fleshman, aku merasa sangat sendirian. Sangat tak berdaya. Aku membuat roti selai kacang untuk makan malamku. Karena masih lapar, aku makan sereal, lalu sekantong keripik kentang. Aku teringat Billie yang malang. Mudah-mudahan ia tidak apa-apa. Setiap kali ada mobil lewat, aku bergegas ke depan jendela untuk melihat apakah itu Mom dan Dad. Jam-jam berlalu lambat. Aku mulai mengantuk. Aku mondar-mandir, memaksa diriku agar tetap terjaga. Aku mesti memperingatkan Mom dan Dad tentang invasi makhluk asing itu. Merasa semakin mengantuk, aku menyalakan TV. Berita pukul sebelas baru mulai. “Wilayah Los Angeles akan lebih hangat,” kata si pembaca berita. “Gelombang udara hangat t-t-t sedang bergerak dari arah Lembah San Fernando dan akan membawa hujan rintik-rintik.” “Pembaca berita itu juga sudah kena,” keluhku. Kupaksakan diri menonton seluruh berita itu. Sama sekali tidak ada berita tentang pendaratan makhluk asing tersebut. Lalu menyusul berita olahraga. Pembaca beritanya juga sudah kena pengaruh makhluk asing tersebut, sebab dari kedua telinganya muncul gelembung hijau, yang lalu ditutupinya dengan headphone. Mereka semua sudah kena, pikirku dengan gemetar. Dan mereka merahasiakannya. Untuk berapa lama? Sampai mereka berhasil menguasai semua orang? Sebuah mobil lewat. Aku lari ke jendela. Bukan Mom dan Dad. Aku merasa sangat mengantuk. Mataku hampir-hampir tak bisa dibuka lagi. Semua ketegangan dan ketakutan hari ini menguasaiku. Aku sangat letih. Aku istirahat saja di tempat tidur, pikirku. Aku tidak akan ganti pakaian. Aku cuma memejamkan mata beberapa menit. Kalau Mom dan Dad pulang, aku akan bangun dan menceritakan semuanya pada mereka. *** Hah? Aku bangun dengan terkejut. Sinar matahari yang terang masuk ke kamar tidurku. Aku duduk tegak sambil menggosok-gosok mata dengan bingung. Aku masih mengenakan pakaianku semalam. Sepatuku rasanya berat sekali. Aku mengerang. Aku tertidur rupanya... terus sampai pagi. Apa Mom dan Dad menengokku? Kenapa mereka tidak membangunkanku? Apa mereka ada di kamar? Masih di rumah ini? Aku melirik jam kecilku. Hampir jam sepuluh. Kenapa aku bisa tidur begitu lama? Aku mesti bicara dengan mereka. Mesti! Aku melompat dan lari ke luar kamar, turun tangga. “Mom? Dad?” teriakku. Suaraku masih serak karena baru bangun tidur. “Mom? Dad? Kalian ada di rumah?” Aku memeriksa dapur. Tidak ada siapa-siapa. Aku lari ke kamar orangtuaku. “Ada orang di rumah?” Aku membuka pintu kamar mereka... dan terperanjat. 20 TIDAK ada orang di kamar. Apa mereka sudah pergi lagi? Atau mereka menemani Billie di rumah sakit sepanjang malam? Di pintu kulkas ada catatan yang menjawab semua pertanyaanku. Jack, kami pergi pagi-pagi sekali. Kami akan membawa pulang Billie. Dia baik-baik saja. Berangkatlah sendiri ke sekolah. Kita bertemu nanti. Salam sayang. Mom dan Dad. Aku akan duduk menunggu mereka, pikirku. Tak mungkin aku pergi ke sekolah, meninggalkan rumah ini. Aku minum segelas jus jeruk, lalu menyalakan radio. Aku mendengarkan berbagai stasiun. Semua penyiarnya sudah kena invasi makhluk asing itu. Dan tak ada berita tentang invasi tersebut. Mereka sudah menguasai semua orang Aku tercekat ketakutan. Jus jeruk itu sampai tidak tertelan olehku. Akhirnya kudengar suara mobil di depan rumah. “Mom! Dad!” Aku membuka pintu dan lari ke depan. Aku terkejut, sebab yang pulang hanya Mom dan Billie. Mom membantu Billie keluar dari dalam mobil. Billie agak pucat dan lelah, tapi selebihnya ia baik-baik saja. “Mom! mana Dad?” seruku. Mom menyibakkan rambutnya dan mendesah letih. “Dia mesti langsung ke kantor. Ada urusan penting.” “Aku tahu ada urusan penting!” seruku. “Mom, aku mesti bicara.” Aku menarik-narik lengannya. “Aku akan bantu Billie masuk dulu,” sahut Mom tak sabar. “Kau tidak apa-apa, kan? Kenapa kau tidak ke sekolah?” “Tidak, tidak bisa,” kataku “Kau ingin melihat adikmu, ya?” tanya Mom. “Seperti kaulihat, dia baik-baik saja. Tenggorokannya agak sakit sekarang, tapi beberapa hari lagi...” “Sakit,” bisik Billie sambil memegangi tenggorokannya. “Aku senang kau tidak apa-apa,” gumamku. “Amandelku yang diambil ada empat,” bisik Billie. “Eh, enam deh.” “Billie, jangan bicara dulu,” omel Mom. “Dan jangan cerita yang tidak-tidak.” Aku menggeleng. Operasi amandel tidak mengubah Billie sedikit pun. Mom mengajak Billie ke pintu belakang. Aku mengejar mereka. “Mom, Mom mesti mendengar dulu!” seruku. “Makhluk-makhluk hijau jelek itu sudah mendarat di bumi dan...” Mom membalikkan tubuh dengan marah. “Jack, aku akan membawa Billie ke kamarnya dulu, oke?” Ia membukakan pintu untuk Billie, tapi Billie berhenti dan berbisik padaku, “Aku juga melihat pesawat angkasa luar di rumah sakit. Tapi warnanya biru.” “Diam!” bentakku. “Ini serius.” “Jack, adikmu baru saja dioperasi, dan kau sudah membentak-bentaknya?” seru Mom. “Kau keterlaluan.” Billie nyengir padaku. “Benar, lho. Warnanya, biru cerah,” bisiknya. “Kurasa pesawat itu mengikutiku pulang.” Aku mundur. Aku tidak berminat mendengarkan cerita konyolnya. Aku menunggu di luar, mondar-mandir dengan gugup sambil menendangi rumput. Akhirnya Mom keluar lagi sambil menguap dan meregangkan tubuh. “Aku tidak bisa tidur nyenyak semalam.” Ia mendesah. “Ayahmu dan aku pulang malam sekali. Kami menengokmu di kamar. Kenapa kau tidur dengan pakaian lengkap, Jack?” “Soalnya aku menunggu kalian pulang!” teriakku. Mom menguap. “Bicaralah.” Ia mengaiigkál tangan. “Tapi satu hal, jangan bicara tentang invasi makhluk asing segala. Aku tidak mau lagi mendengarnya. Aku sudah capek.” Aku ingin mulai bercerita, tapi lalu mengurungkannya. Mom tidak akan mendengarkan. Ia tidak akan percaya. Aku mesti menemui Dad. Mungkin Dad mau mendengarku. Dad bekerja di kantor deputi walikota. Ia bisa bicara dengan sang deputi, atau mungkin dengan walikota sendiri. Mungkin belum terlambat. Mungkin mereka sudah mulai menangani invasi ini. Barangkali itulah urusan penting yang menyebabkan Dad harus bergegas ke kantor. Barangkali Mr. Fleshman sudah menghubungi kantor walikota dan mereka sedang bekerja sama untuk melawan makhluk-makhluk itu “Kenapa kau tidak sekolah?” tanya Mom. “Cuma karena Billie?” “Yeah,” gumamku sambil berpikir keras, bagaimana cara pergi ke kantor Dad. “Belum terlambat untuk pergi sekarang,” kata Mom “Aku bisa menuliskan surat untuk Mrs. Hoff.” “Oke,” kataku. Jadi, aku pura-pura berangkat ke sekolah. Padahal aku berjalan terus sampai ke halte bus. Aku menunggu lama sekali. Di LA bus jarang ada. Aku mesti ganti bus dua kali. Di salah satu halte, enam atau tujuh orang saling berpelukan. Di belakang mereka sebuah pintu toko dibuka dan kulihat dua orang berpelukan di ambangnya. Di sudut sebelah ada empat orang lagi berpelukan. “Cepat. Cepatlah,” kataku dalam hati. “Mungkin aku sudah terlambat.” Bus bergerak melewati persimpangan. Di seberang jalan kulihat sesosok makhluk hijau masuk ke punggung seorang pria. Lengan orang itu langsung terangkat dan mulutnya ternganga kaget. Makhluk itu lenyap ke dalam tubuhnya. “Anda lihat itu?” seruku pada wanita di depanku. “Tidak,” sahutnya . Tak ada penumpang yang melihat apa pun. Tak ada yang berkomentar. Apa mereka semua sudah kena juga? Perjalanan itu serasa makan waktu berjam-jam. Tapi akhirnya aku sampai juga. Aku melompat turun dan masuk ke gedung jangkung dari granit itu. Langsung naik lift ke lantai dua belas. Seorang resepsionis sedang bicara di telepon di belakang mejanya yang besar. “Kau sudah membuat janji?” tanyanya ketika aku maju ke hadapannya. “Aku mesti bertemu ayahku!” seruku terengah-engah. “Aku Jack Archer.” “Kau mesti menunggu,” sahutnya. “Kurasa dia sedang bersarna Deputi Rawls.” Aku tak bisa menunggu. Aku lari melewati mejanya, ke lorong panjang yang penuh kantor. “Hei, tunggu!” teriak si resepsionis. Aku melewati dua wanita bersetelan gelap, dan melewati kantor ayahku. Kantor di sudut pintunya terbuka. Kulihat ayahku berdiri di depannya sambil melipat tangan di depan dada, bicara dengan seorang laki-laki di belakang sebuah meja besar. “Dad!” panggilku “Dad..." Ia menoleh terkejut “Jack? Bagaimana kau bisa kemari?” Aku masuk dengan terengah-engah ke dalam ruangan. “Dad?” Dad memberi isyarat pada Deputi Rawls. “Anda ingat anakku? Jack?” Mr. Rawls mengangguk sambil tersenyum. Ia bertubuh besar dan lebar. Rambutnya hitam dan lebat, disisir licin ke belakang, dan matanya hijau. Ia mengenakan setelan biru pucat. Dasinya tergantung longgar di kerah kemejanya. “Dad makhluk-makhluk itu sudah mendarat,” kataku. Dad menoleh pada Mr. Rawls “Jack sangat takut pada makhluk-makhluk itu.” katanya. Senyum Mr. Rawls langsung lenyap. Ia memutar tubuh ke arahku. “Tak perlu takut, Nak,” katanya “Tidak t-t-t sakit kok.” Aku ternganga. Lalu sang deputi menoleh pada ayahku “Peluklah t-t-t anakmu, Frank” Dad meletakkan satu tangannya ke bahuku dan memutar tubuhku ke arahnya. “Tidak t-t-t akan lama, Jack,” katanya pelan. “Dan kau akan jadi seperti kami.” 21 "DAD... Dad juga kena?” teriakku. Dad mengangguk dengan serius. Gelembung-gelembung hijau keluar dari telinganya. “Peluk dia,” perintah sang deputi “Peluk dia, Frank! Sekarang?” “Keterlaluan!" desahku. Mendadak aku merasa sangat lemah dan lelah. “Tidak t-t-t akan sakit,” Dad membujukku lagi. Ia memelukku. Ayahku. Ayahku sendiri... Aku terpaku diam, tak percaya. Merasa kalah. Dad mempererat pelukannya padaku. Kepalan tangannya menekan punggungku. Biarlah, pikirku. Ia toh ayahku. Ayahku sendiri. Habislah sudah. Aku tak bisa melawannya. Tak bisa melawan semua orang. Aku cuma anak kecil. Aku tak bisa melawan satu kota makhluk asing. Aku terpuruk lemas di tubuh ayahku dan memejamkan mata. Ia memelukku lebih erat. Terdengar suara kuku-kuku tajam mencuat dari jemarinya. Lalu aku merasakan terpaan dingin yang tajam di tengah punggungku. Seperti sepuluh pisau es yang ditusukkan bersamaan ke kulitku. Rasa dingin itu menyebar... menyebar... 22 HABISLAH, pikirku. Makhluk ini akan menginvasi diriku. Rasa dingin itu menggelitik kulitku. Tanganku terulur. Tangan kananku menyenggol sesuatu. Aku membuka mata dan melihat botol air yang terjatuh. Tangan kananku rupanya menyenggol botol air di meja Mr. Rawls. Ia dan Dad serentak menjerit kaget ketika air itu terciprat ke komputer dan ke karpet. Mr. Rawls ternganga ngeri melihat genangan air itu. Dad melompat mundur. Saat ia melepaskanku, rasa dingin yang tajam itu menghilang dengan segera. Aku waspada sekarang, jantungku berdebar kencang. Kenapa mereka melompat begitu melihat air? pikirku. Aku tidak mau berpikir lagi. Aku sudah bebas. Dan aku masih diriku. “Tangkap dia!” perintah sang deputi. Perutnya yang besar berguncang ketika ia bergerak hendak menangkapku. “Jack... t-t-t, stop!” seru ayahku. Tapi aku lebih gesit. Aku merunduk dan melesat keluar dan ruangan itu. “Hei...!” Si resepsionis memanggil ketika aku melewatinya, menuju deretan lift. Aku menekan tombol lift, tapi lalu melihat ada tangga di belakang ruangan itu. “Jangan sampai dia lolos, Frank!” Kudengar Mr. Rawls berseru sementara mereka berdua mengejarku. “Cuma dia yang belum kena oleh kita.” Aku melesat ke tangga dan lari turun dua anak tangga sekaligus. Di atasku terdengar langkah kaki berdebum-debum. Aku terus turun. Dua belas lantai, sampai ke jalan. Bisakah aku mendahului mereka? Atau mereka sudah akan menungguku di bawah sana? Kalau aku berhasil lolos, ke mana aku mesti pergi? Aku tidak punya rencana. Yang penting aku mesti lolos dulu dari mereka. Aku sudah kehabisan napas ketika tiba di lantai satu. Aku hendak lari ke pintu, tapi... “Stop!” teriak sebuah suara. Dua orang satpam lari mengejarku. Pintu lift terbuka. Dad dan Mr. Rawls keluar. “Jangan biarkan dia lolos!” teriak Mr. Rawls. Aku menyerbu ke pintu keluar dan terus ke jalan. Aku menoleh ke kiri-kanan. Ke mana aku mesti lari? Kedua satpam itu ikut keluar mengejarku. “Berhenti ” teriak salah satu dari mereka. Satpam satunya bicara cepat ke telepon genggamnya, mungkin memanggil teman-temannya. Aku melesat ke kerumunan orang. “Jack, tunggu!” Kudengar ayahku memanggil. Dua wanita sedang berpelukan di sudut. Aku lari ke arah mereka, hampir menabrak mereka. “T-t-t... hei” seru salah satunya. Aku melesat ke jalan tanpa memperhatikan lalu lintas. Mobil-mobil mengerem mendadak dan membunyikan klakson. Akhirnya aku berhasil menyeberang, lalu aku menoleh. Kulihat empat satpam mengejarku, disusul oleh Dad dan Mr. Rawls dan dua polisi bertampang seram. Aku menjerit dan hendak berlari lagi. Kulihat sebuah bus hendak melaju dari tepi jalan. “Tunggu” Aku melompat ke pintunya dan menggedor-gedor. “Bukakan....” Para satpam itu lari menyeberang jalan “Berhenti, Nak!” teriak salah satunya. Aku menggedor pintu bus. “Bukakan...“ Kedua satpam itu hendak meraihku. Tapi pintu bus terbuka. Tangan-tangan mencengkeram bahuku. Aku menyentakkan tubuh dengan keras dan melompat ke tangga paling bawah. Bus berjalan. Aku melewati sopir, duduk di kursi depan. “Ongkosnya,” kata si sopir “Bayar t-t-t ongkosnya.” Sambil berusaha mengatur napas aku melihat para pengejarku tadi berdiri memandangiku dengan marah sementara bus melaju pergi. *** Setengah jam kemudian aku sudah berada di depan rumahku. Tidak ada mobil di pekarangan. Sebelum masuk, aku mengintip dan jendela. Aku mesti memastikan bahwa tidak ada yang mengikutiku. Ternyata tidak ada. Atau belum ada. Mungkin mereka terjebak kemacetan lalu lintas atau apalah. Tapi aku tahu sebentar lagi mereka akan datang. Cuma dia yang belum kena oleh kita! Ucapan Mr. Rawls terngiang-ngiang di telingaku. Berarti mereka tidak akan berhenti sebelum berhasil menangkapku. Aku lari ke dalam rumah. Aku tahu, di sini tidak aman. Aku berniat memberitahu Mom dan Billie, lalu pergi ke rumah Mr. Fleshman secepat mungkin. “Mom! Mom! Mom di mana?” “Jack? Aku di kamar Billie!” seru Mom. “Tetap di sana!” teriakku. “Di atas sana lebih aman. Mom bisa mengunci pintu kamar Billie?” “Apa, Jack? Apa katamu?” sahut Mom. “Tetap di atas sana!” teriakku. “Aku akan memanggil Mr. Fleshman. Dia akan melindungi kita.” Aku hendak membuka pintu depan, tapi tersentak ketika melihat beberapa mobil berhenti di luar. Ada sekitar dua belas mobil. Dan truk-truk pemadam kebakaran. Juga mobil patroli polisi dengan lampu berkedap-kedip. Kulihat Dad melompat keluar dari mobil pertama, disusul dua orang polisi dengan tangan siap di pistol. Aku membanting pintu. Tak bisa bernapas. Lututku gemetar dan aku mulai merosot. “Tidak!” teriakku “Aku tidak boleh menyerah!” Kupaksakan diri untuk bergerak. Aku lari ke bagian belakang rumah dan membuka pintu dapur. Tiga polisi berseragam muncul dari sudut rumah dan lari di pekarangan belakang. Aku terperangkap. Aku mesti keluar dari rumah ini. Mesti menemui Mr. Fleshman. Tapi bagaimana caranya? Bagaimana? 23 KUDENGAR suara-suara teriakan di luar dan gedoran di pintu. Aku mengintip dari jendela dan melihat pekarangan belakang penuh dengan orang. Para tetangga lari keluar dari rumah-rumah mereka. Para satpam, polisi, petugas pemadam kebakaran, tukang pos, dan beberapa orang anak semuanya masuk ke pekarangan, membentuk lingkaran sekeliling rumahku. Sambil mengelilingi rumah mereka mulai menggumam pelan, “Peluk... peluk... peluk... peluk..." Aku menutupi telinga dengan tangan, tapi suara-suara itu tetap terdengar. Di mana Mr. Fleshman? pikirku. Ia pasti melihat orang-orang ini. Kenapa ia tidak bertindak? Apa yang ditunggunya? Aku berpaling dengan gemetar dan memaksakan diri bergerak ke tangga ruang bawah tanah. Sambil berpegangan erat-erat di birai tangga aku turun ke ruang bawah tanah. Aku berhenti di anak tangga paling bawah. Suara gumaman itu merambat melalui jendela ruang bawah tanah yang kecil. “Peluk... peluk... peluk....” Aku lari ke bawah tanah dan melihat pistol airku di rak. Aku terpaku memandanginya, dan teringat Henry dan Derek. Mereka perenang andal di sekolah, tapi saat diadakan uji-coba mereka tidak mau ikut dan tidak mau masuk ke kolam renang. Mereka juga tampak ketakutan. Takut air. Mereka sudah kerasukan makhluk asing itu, dan mendadak mereka jadi takut air. Sementara itu, ayahku sendiri dan sang deputi juga terlompat kaget ketika aku menjatuhkan botol air itu. Apa mereka hanya terkejut? Atau takut basah? Mungkin air bisa mencelakakan mereka, pikirku. Mungkin air itu bahkan bisa membunuh mereka. Aku mesti mencoba. Kuambil pistol airku dan aku lari ke wastafel di ruang cuci. Akan kusemprot semua orang. Mungkin dengan begitu aku bisa pergi ke rumah Mr. Fleshman. Tanganku gemetar hebat, sehingga hampir tak bisa mengisi pistol air itu. Air tumpah ke seluruh lantai ruang bawah tanah, tapi akhirnya aku berhasil mengisi seluruh tangki pistolku dan mencobanya. “Pasti berhasil,” gumamku. “Dengan ini aku bisa pergi ke rumah sebelah.” Aku berjuang naik ke tangga, lalu pergi ke pintu depan. Seluruh tubuhku gemetar. Pistol air ini makin lama makin terasa berat di tanganku “Peluk... peluk... peluk...” Gumaman monoton itu masih saja terdengar Aku mengintip. Orang-orang yang kerasukan itu masih membentuk lingkaran di sekeliling rumah. Aku melihat Henry dan Derek berdiri paling depan. Dad ada di dekat mereka, ikut bergumam seperti yang lainnya. “Ini dia,” kataku. Aku menarik napas panjang. Mengangkat pistol air yang berat itu ke bahuku. Lalu membuka pintu dan melangkah ke luar. Gumaman itu serentak berhenti. Beberapa orang berseru kaget. Yang lainnya bersorak-sorak. Lalu lingkaran manusia itu mendekat ke arahku dengan cepat. Sambil maju mereka mengulurkan lengan dan mulai menggumam lagi, “Peluk... peluk dia... peluk... peluk dia...” Semakin dekat. Semakin dekat. Menghampiriku, Mendekatiku. “Sori!” teriakku “Aku tak punya pilihan.” Kuturunkan pistol itu dari bahuku, lalu aku menarik picunya dan menyemprotkan isinya ke kumpulan orang itu. 24 HANTAMAN air yang keras itu mengenai dada seorang laki-laki dalam lingkaran dan ia mundur dengan terkejut. Terdengar seruan-seruan kaget. Aku membidik dengan cepat, mencoba menyemprot semua orang yang menghalangi jalanku. Aku menyemprot dua orang anak. Mereka menurunkan lengan dan mundur. Semburan air itu mengenai seragam seorang polisi. Ia melotot marah padaku, tapi tidak mundur. Sekarang aku mendengar mereka tertawa. “Pistol air,” ejek seseorang. “Dia pikir dia bisa menghentikan kita dengan pistol air konyol itu.” Suara tawa semakin riuh. Orang-orang itu mendekat lagi dengan lengan terulur hendak meraihku. “Peluk... peluk dia..." Aku menurunkan pistol airku. Airnya menetes-netes ke sepatuku. Henry dan Derek tertawa “Kaupikir benda itu t-t-t bisa menghentikan kami?" seru Derek. “Tapi.. tapi... di sekolah...,” aku tergagap-gagap. “Kalian tidak mau berenang...“ Mereka tertawa lagi. “Kami tidak suka air,” kata Henry, lalu tertawa. “Tapi air tidak bisa menyakiti kami.” Ia maju ke arahku. “Waktunya dipeluk, Jack,” gumamnya. “Tidak!” Aku menjatuhkan pistol air itu dan mundur lagi selangkah. Aku tersentak ketika melihat Mom. Ia sudah keluar dan berdiri di samping Dad. Mereka berpegangan tangan dan sama-sama menggumam, “Peluk... peluk... peluk dia,” sambil bertepuk tangan seirama dengan gumaman itu. “Tidaaak!” Aku terpekik ngeri dan mundur terhuyung-huyung, mencari celah di antara lingkaran manusia itu. Aku memutar tubuh ke segala arah. Tidak ada celah. Tidak ada. Tangan-tangan terulur ke arahku dan kerumunan orang itu semakin mendekat. Lalu aku melihat Mr. Fleshman. Akhirnya! Ia berdiri di belakang lingkaran manusia itu, di samping garasi. Seperti biasa, ia mengenakan pakaian serba hitam. Rambutnya yang keperakan bercahaya oleh sinar matahari. “Mr. Fleshman!” panggilku di antara suara gumaman itu. “Ada apa ini?” Ia maju ke arahku dengan tangan di pinggang. “Anda sudah janji,” seruku “Kata Anda makhluk-makhluk asing itu akan pergi dalam waktu sehari dua hari.” Ia menerobos hngkaran manusia itu dan melangkah ke depanku, matanya yang keperakan menatapku tajam “Kami memang akan pergi, jack,” katanya. “Kami akan pergi begitu kami berhasil menanganimu” Aku tersentak. Jantungku serasa melompat. “Maksud Anda. Anda salah satu dari mereka?” seruku. “Jack,’ sahutnya, “akulah pemimpin mereka.” 25 MR. FLESHMAN mengangkat satu tangannya tinggi-tinggi dan suara gumaman itu berhenti. Hening. Mata Mr Fleshman berkilat-kilat. “Aku pemimpin mereka,” ia menjelaskan dengan suaranya yang berupa bisikan serak. “Akulah sumber energi mereka.” “Tapi... tapi...” Aku mencoba bicara dengan lemah. Lalu aku berpaling. Mata yang aneh dan tajam itu terasa menakutkan sekarang. “Aku datang lebih dulu,” kata Mr. Fleshman, “Untuk memastikan bumi sudah siap menerima kami. Aku sengaja membuat berbagai efek khusus itu di rumahku, supaya orang-orang mengira aku punya pekerjaan.” Senyum aneh menghiasi wajahnya yang kecokelatan. “Kau tahu efek khususku yang paling bagus? Tubuh manusia ini.” “Hah?” Aku tercekat. Masih sambil tersenyum Mr. Fleshman memegang kedua sisi wajahnya. Lalu menariknya dengan keras. Kulit wajahnya mulai bergerak Ia menarik dengan kedua tangannya, menarik tenggorokannya, lalu dadanya. Wajahnya, kulitnya, pakaiannya... ia menarik semuanya. Menimbulkan suara basah yang menjijikkan ketika semuanya terbuka. Lalu ia melipat kulit itu dan melemparkannya ke tanah. Aku memandanginya dengan ngeri. Ia tidak seperti makhluk-makhluk asing lainnya. Ia seperti segumpal otak raksasa. Tubuhnya berdenyut dan bergetar, warnanya merah muda dan basah. Bunga api listrik berkeredap di sekitarnya. Ia menimbulkan bunyi gemeretak ketika bergerak, seolah ia dikelilingi arus listrik. Sebuah lubang merah terang di dekat puncak tubuhnya yang berdenyut-denyut itu membuka dan menutup. Rupanya itu mulutnya. “Akulah sumber energi mereka,” kata Mr. Fleshman. Orang-orang yang kerasukan itu bersorak. “Lama sekali aku menunggu teman-temanku datang, Jack,” katanya. Lubang mulutnya membuka dan menutup. “Menunggu mereka mengambil tubuh-tubuh baru. Sekarang kami semua punya tubuh manusia yang bisa berfungsi dengan baik di planet kami.” “Tidak,” erangku. “Maksudmu...” Makhluk itu berdenyut-denyut gembira. “Ya, sudah waktunya kami pergi, kembali ke planet kami dengan tubuh baru ini. Aku sudah janji padamu bahwa kami akan pergi, bukan?” “Ya, tapi..." “Cuma ada satu masalah,” kata Mr. Fleshman sambil mencondongkan tubuhnya ke arahku. “Kaulah penghalang terakhir, Jack,” geramnya “Penghalang terakhir di kota ini. Kami memerlukan tubuhmu, Jack. Kami tak bisa membiarkanmu tertinggal.” Ia menegakkan diri. Bunga-bunga api beterbangan dari tubuhnya. “Peluklah aku sekarang,” katanya. “Tidak,” kataku “Jangan.” “Kami memerlukan semua orang,” kata mulut merah di puncak otak yang berdenyut-denyut itu. “Tidak!” Aku berpaling pada Mom dan Dad. Mereka masih berpegangan tangan di tengah yang lainnya. “Tidak akan sakit, Jack,” kata Dad. “Cuma t-t-t sebentar” Daging Mr. Fleshman yang merah muda dan basah mulai memelukku. Terdengar dengung listrik; kulitku tergelitik ketika tersentuh olehnya. “Peluk, Jack,” kata Mr. Fleshman. “Peluk.” Aku mendesah panjang. Seluruh tubuhku lemas ketika makhluk itu memelukku. Aku tak bisa melawan. Aku tak bisa menentang mereka semua. Tak ada gunanya. Bahkan orangtuaku pun sudah kena oleh mereka. “Oke,” bisikku “Oke." 26 "OKE” Aku menyerah. Kubiarkan tubuhku melemas. Mr. Fleshman memelukku. Rasanya hangat dan lengket. Bunga api kuning cerah beterbangan di sekitarnya. Ia berbau asap, seperti terbakar. Seolah-olah arus listrik itu membakar dagingnya yang merah muda dan lembek. Habislah aku, pikirku. Habislah. Daging yang berat itu semakin merapat ke tubuhku. Menyesakkan napasku. Suatu arus listrik yang kuat membuatku bergetar. Dan tersadar. Mendadak aku punya gagasan. Gagasan sinting dan nekat. Aku mengangkat kedua tanganku dan mencengkeram daging makhluk itu. Kutegangkan semua ototku dengan keras, sampai terasa sakit. Aku mengertakkan gigi dan mengetatkan rahang, mengencangkan kaki dan tanganku. Lalu aku menyerbu masuk ke punggung makhluk itu. Aku masuk ke dalam tubuh Mr. Fleshman. Ke dalam kegelapan dan hawa panas yang berdenyut-denyut itu. Ke dalam arus listrik yang kuat dan mantap itu. Dalam. Dalam. Dalam. Kudengar ia menjerit kaget. Di dalam tubuhnya yang gelap dan basah kurasakan ia meronta-ronta dan meliuk-liuk. Aku membalikkan segalanya. Ia berusaha merasukiku, tapi aku lebih dulu merasukinya. Aku lebih dulu menyerbu ke dalam energinya, pikirannya. Dan dalam kudengar geraman protes muncul dari perutnya yang besar dan keluar dari mulutnya yang menganga. Lalu kurasakan tubuhnya gemetar keras dan jatuh tersungkur. Aku ikut tersungkur ke tanah. Kurasakan seluruh otot makhluk itu melemas dan tubuh raksasanya jatuh. Jatuh dengan wajah lebih dulu. Dan aku ikut jatuh bersamanya. Terus dan terus. Begitu jauh dan berat. Berdebuk keras. Melambung dua kali. Lalu tidak bergerak lagi. Kupaksakan diriku bangkit berdiri. Dengan mengerahkan semua otot dan tenagaku aku bangkit berdiri... dan keluar. Keluar dan tubuh yang berat dan panas itu. Aku mencengkeram tepi rumah, terengah-engah - menarik napas. Seluruh tubuhku berkeringat dan aku membalikkan badan. Kulihat Mr. Fleshman tergeletak mati di kakiku. Aku telah merasukinya... dan ia mati. Masih gemetar dan terengah-engah aku mengangkat kepala ke arah lingkaran orang-orang itu. Mereka menghampiriku. Berbaris dengan langkah berat dan mata kosong. Terus dan terus maju ke arahku... 27 "OHHH!” Aku mundur ke tembok rumah dengan ngeri. Orang-orang yang kerasukan itu terus maju ke arahku. Kulihat Marsha dan Maddy dengan mata kosong dan mulut menganga serta lengan terulur mendekat padaku. Mom dan Dad... Henry dan Derek... para petugas polisi... para tetangga... semua maju. Lalu mendadak mereka berhenti dan jatuh berlutut. Semuanya. Serentak. Makhluk-makhluk hijau di dalam tubuh mereka keluar, jatuh tergeletak di rumput. Tidak bergerak. “Sumber energinya,” gumamku sambil memandangi mereka dengan takjub.”Mr. Fleshman, sumber energi mereka, sudah mati.” Satu demi satu orang-orang itu berdiri. Mereka merentangkan lengan, menarik napas panjang, dan menjauhi makhluk-makhluk yang sudah mati itu. Mereka mulai tersenyum. Dan tertawa. Lalu sepertinya mereka baru melihatku. “Kau menyelamatkan kami!” seru seorang wanita. “Kau mengalahkan mereka, Jack!” “Hebat!” “Kau menyelamatkan kami semua!” “Jack, kau pahlawan” kata Maddy. Pekarangan belakang itu dipenuhi sorakan dan seruan senang. Mom dan Dad memelukku. Kali ini aku tidak keberatan dipeluk. Orang-orang mulai menyanyi dan menari. Semuanya senang telah bebas dan selamat. Sejenak kupandangi mereka dengan bahagia. Lalu aku baru teringat. “Billie!” Adikku. Di mana dia? Baru kusadari bahwa selama ini Billie masih berada di kamarnya. Apa dia baik-baik saja? Aku lari ke dalam rumah. “Billie! Billie!” panggilku sambil naik ke kamarnya. “Billie!” “Aku masih di sini.” Ia mengangkat kepala dari bantalnya dan bertopang pada sikunya saat aku masuk ke kamarnya “Kau baik-baik saja?” tanyaku. “Aku melihatmu,” katanya, masih berbisik karena bekas operasi amandel itu “Aku melihatmu dari jendela, Jack. Kau hebat.” “Trims,” kataku. Kupandangi dia. Billie belum pernah bersikap semanis ini padaku “Apa kau tidak apa-apa? Aku khawatir...” “Kau mengalahkan makhluk-makhluk hijau itu,” bisik Billie. Ia berusaha duduk. “Tapi bagaimana dengan makhluk yang biru?” “Hah?” Aku menyipitkan mata. “Kan sudah kubilang aku juga menemukan makhluk angkasa luar,” kata Billie. “Punyaku biru, dan dia lebih besar daripada makhluk hijaumu.” “Billie.” bentakku “Kita tidak usah bersaing terus, oke? Tidak usah cerita-yang bukan-bukan lagi.” Terdengar bunyi gemuruh, lalu pintu lemari Billie meledak terbuka. Sesosok monster biru raksasa melangkah keluar. “Lihat, kan?” kata Billie “Dia ingin dipeluk, Jack. Peluk dong!” END Ebook by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu ============================== Ebook Cersil (WWW.ebookHP.COM) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ==============================